Minggu, 03 Januari 2010

Tingkat Serangan Parasit Yang Menyerang Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata) Stadia Zoea-Megalopa Yang Diberi Glukosa Terlarut

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di hutan bakau (mangrove). Dengan sumberdaya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan pantai nusantara maka tidak heran jika Indonesia dikenal sebagai pengekspor kepiting yang cukup besar dibandingkan dengan negara-negara produsen kepiting lainnya (Kanna, 2002).
Kepiting bakau mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, baik di pasar domestik (dalam negeri) maupun pasar mancanegara (luar negeri), terutama kepiting yang sudah matang gonad dan sudah dewasa atau gemuk. Nilai ekonomis kepiting yang terus meningkat merangsang para petani untuk membudidayakannya di tambak. Salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya kepiting bakau adalah ketersediaan benih. Selama ini kebutuhan benih kepiting bakau seluruhnya masih mengandakan hasil penangkapan di alam yang jumlahnya terbatas dan dipengaruhi oleh musim. Dengan kondisi demikian, maka salah satu cara untuk mengatasi penyediaan benih adalah melalui usaha pembenihan. (Kanna, 2002).
Tolok ukur keberhasilan usaha pembenihan kepiting bakau adalah produksi benih yang ditandai dengan sintasan larva yang tinggi. Namun masalah utama yang dihadapi oleh usaha pembenihan kepiting bakau dewasa ini adalah rendahnya sintasan larva terutama pada stadia zoea hingga megalopa. Berdasarkan beberapa hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan kepiting bakau berkisar 18,60% (Karim, 2003).
Salah satu penyebab kematian larva kepiting bakau dapat terjadi antara lain diduga karena adanya patogen. Dilaporkan bahwa parasit bersifat patogen dan dapat menyebabkan kematian massal bagi larva kepiting bakau. Beberapa parasit yang biasanya menyerang kepiting bakau adalah Zoothamnium sp, Vorticella sp dan Epistylis sp. Selain itu kematian larva kepiting bakau disebabkan lingkungan yang tidak optimal serta nutrisi yang tidak tercukupi pada fase pemeliharaan. Kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi memicu terjadinya defisiensi pada larva yang dapat menyebabkan gagal berganti kulit dan akhirnya mati. Dengan demikian, diperlukan penambahan nutrien yang dapat langsung dimanfaatkan oleh larva kepiting sebagai sumber energi dan salah satunya adalah glukosa terlarut.
Glukosa dapat diserap oleh larva dan menghasilkan energi melalui proses oksidasi (Jamal, 1995). Glukosa monosakarida merupakan bentuk paling sederhana dari karbohidrat yang memiliki sifat larut dalam air sehingga penggunaan glukosa dalam media pemeliharaan sangat bagus (Anonim, 2007). Anwar dan Piliang (1992) menyatakan bahwa karbohidrat berperan penting dalam biokimia sellular karena fungsinya sebagai sumber energi dan persediaan makanan di dalam tubuh.
Penelitian tentang penggunaan glukosa telah dilakukan oleh Jamal (1995) pada ikan betutu dengan sintasan larva 8.33% dan Daniaty (2008) pada larva kepiting bakau dengan sintasan larva 25,79% pada pemberian glukosa 50 ppm. Hasil penelitian tersebut terbukti dapat meningkatkan sintasan larva ikan betutu, kepiting bakau dan larva ikan beronang. Jika glukosa dapat meningkatkan sintasan larva ikan betutu, kepiting bakau dan ikan beronang maka kemungkinan juga dapat terjadi peningkatan hemocyt sehingga hal tersebut dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada larva kepiting bakau. Terkait dengan hal tersebut, maka penggunaan glukosa pada media pemeliharaan bisa meningkatkan daya tahan larva terhadap serangan parasit sehingga tingkat sintasannya akan lebih tinggi dan hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat serangan parasit larva kepiting bakau (S. Serrata) yang diberi glukosa terlarut pada media pemeliharaan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan informasi tentang penggunaan glukosa pada usaha pembenihan kepiting bakau, khususnya pada stadia zoea-megalopa.














II. TINJAUAN PUSTAKA

Sistematika dan Ciri Morfologi
Kepiting bakau atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan ’’Mangrove crab’’ atau ’’Mud crab’’. Secara taksonomi kepiting bakau diklasifikasikan oleh Stephenson dan Campbell (1959), Motoh (1977), Warner (1980) dan Keenan et. al. (1998) sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Subclass : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Potunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata
Berdasarkan morfologi yang dinyatakan oleh Kanna (2002), bahwa kepiting bakau (S. serrata) memiliki warna relatif sama dengan warna lumpur, yaitu coklat kehitam-hitaman pada bagian karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada bagian abdomennya. Pada propudus bagian atas terdapat sepasang duri yang runcing dan 1 buah duri pada propudus bagian bawah. Kepiting bakau juga mempunyai 3 pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang. Pada dahi antara sepasang matanya terdapat 6 buah duri dan disamping kanan dan kirinya masing-masing terdapat 9 buah duri. Kepiting bakau jantan mempunyai sepasang capit yang dapat mencapai panjang hampir dua kali lipat dari pada panjang karapasnya, sedangkan kepiting bakau betina relatif lebih pendek (Gambar 1-3). Selain itu kepiting bakau berjenis kelamin jantan ditandai dengan abdomen bagian bawah berbentuk segitiga meruncing, sedangkan pada kepiting bakau betina melebar. Abdomen jantan dan betina kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 1 : Morfologi kepiting bakau (S. serrata)


Gambar 2 : Bentuk capit dan duri diantara kedua mata kepiting bakau (S. serrata)


Gambar 3 : Bentuk duri pada bagian belakang capit kepiting bakau (S. serrata)



Gambar 4. Abdomen jantan dan betina kepiting bakau



Siklus Hidup Kepiting Bakau
Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan atau membesarkan diri. Setelah perkawinan berlangsung, kepiting betina yang telah melakukan perkawinan secara pelan-pelan akan beruaya di perairan bakau, tambak, ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak, di sela-sela bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang organisme makanannya berlimpah (Kanna, 2002).
Menurut Ansari (2007), bila kondisi ekologi mendukung, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3 – 4 tahun. Sementara itu pada umur 12 - 14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat dipijahkan. Sekali memijah, kepiting bisa menghasilkan jutaan telur tergantung ukuran induk. Di alam bebas, jumlah larva yang mampu menjadi kepiting muda sangat kecil, hal ini disebabkan antara lain faktor lingkungan yang tidak mendukung dan banyaknya musuh alami. Sekali melakukan pemijahan kepiting betina mampu menyimpan sperma jantan dan dapat melakukan pemijahan hingga tiga kali tanpa perkawinan lagi. Siklus hidup kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Siklus hidup kepiting bakau
Kepiting bakau mengalami perkembangan dari telur (embrio) sampai dewasa melalui beberapa stadia diantaranya zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting dewasa. Stadia zoea terdiri atas 5 substadia yang dibedakan dengan adanya penambahan atau perkembangan organ tubuh, baik organ tubuh yang menunjang kemampuan untuk bergerak maupun untuk aktivitas makan (Kasry, 1996).
Menurut Kanna (2002), dalam menjalani kehidupannya kepiting bakau mengalami tiga stadia, yakni sebagai berikut :
1. Stadia Zoea
Stadia zoea merupakan stadia awal dari kepiting bakau yang terdiri atas 5 sub-stadia yang perkembangan seluruhnya memerlukan waktu 18-20 hari. perkembangan dari Zoea-1 ke tingkat zoea selanjutnya memerlukan waktu 3-4 hari. Menurut quintio (2003), stadia Zoea kepiting bakau terdiri atas 5 sub-stadia sebagai berikut :
a. Sub Stadia Zoea 1
Larva kepiting bakau pada zoea-1 berwarna transparan, berukuran panjang tubuh 1,15 mm, dari rostrum 0,35 mm, duri dorsal 0,48 mm, duri lateral 0,19 mm, dan mata menempel. antenule tidak bersegmen dan pendek. Antenna berduri panjang, mandibbula lebar, relatif keras dengan dua gigi dan pinggiran bergerigi tajam. Larva kepiting belum aktif menangkap pakan.
b. Sub Stadia Zoea-2
Larva kepiting bakau, pada sub stadia zoea-2 lebih aktif menangkap pakan, karena organ tubuhnya makin berkembang, baik dalam ukuran maupun fungsinya. Ciri morfologi dari substadium Zoea- 2 antara lain : panjang tubuh larva mencapai 1,51 mm, duri rostrum 0,39 mm, duri dorsal 0,54 mm, duri lateral 0,2 mm, mata bertangkai.

c. Sub Stadia Zoea-3
Larva kepiting bakau pada sub-stadia zoea-3 aktif menangkap pakan dan telah memiliki organ tubuh yang paling lengkap. Ciri morfologi dari substadia ini adalah : panjang tubuh 1,93 mm, duri rostrum 0,52 mm, duri dorsal 0,63 mm, duri lateral 0,24 mm, antenulle seperti pada zoea-2 tetapi lebih besar. Perkembangan bagian thoracic belum sempurna. duri lateral pada pleomore-3 sampai 5 panjang dan abdomen mempunyai 8 somite.
d. Sub Stadia Zoea-4
Larva kepiting bakau pada sub-stadia zoea-4 makin tampak keaktifannya karena ditunjang oleh perkembangan organ tubuhnya. Pada substadia ini larva dilengkapi dengan terbentuknnya maxilipied- 3 dan cheliped bergerak. panjang tubuh 2,40 mm, duri rostrum 0,72 mm, duri dorsal 0,86 mm, duri lateral 0,28 mm.
e. Sub Stadia Zoea-5
Larva kepiting bakau sub-stadia zoea-5 mampu secara efektif memangsa pakan yang diberikan dan telah aktif berenang. Hal ini ditunjang dengan pleopoda yang sudah cukup panjang dan peripoda mulai ada. Ciri-ciri lainnya adalah : panjang tubuh 3,43 mm, antenulle dengan aesthetes dalam tiga tingkatan, dan endopodite merupakan kuncup.
2. Stadia Megalopa
Pada fase megalopa, larva kepiting bakau telah mampu menggigit yang dicirikan dengan tumbuhnya gigi tajam pada bagian pinggir mandibula dan maxilipied- 3 makin sempurna. Periode megalopa berlangsung menjadi 7-8 hari.
3. Stadia Crab (kepiting Bakau)
Kepiting muda dalam pembenihan kepiting bakau sering juga di sebut stadia crab atau instar. Stadia crab (kepiting muda) telah memiliki organ tubuh yang lengkap seperti halnya kepiting dewasa, namun ukuranya masih kecil
Menurut Brock (1984), perkembangan larva kepiting bakau dari stadia zoea sampai megalopa dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Larva kepiting bakau (S. serrata) stadia zoea sampai stadia megalopa


Makanan dan Kebiasaan Makan
Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segala dan pemakan bangkai. Tangan dan capitnya yang besar dan kuat memungkinkan menyerang musuh dengan ganas atau merobek-robek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut dibawa ke mulut dengan kedua capitnya, waktu makannya juga tidak beraturan namun malam hari tampaknya lebih aktif makan dari siang hari (Kasry,1996).
Berbeda dengan kepiting dewasa, larva kepiting lebih bersifat pemakan plankton, khususnya larva-larva pada tingkat awal. Makanannya terdiri atas berbagai organisme planktonik seperti diatom, Tetraselmis, Chlorella, rotifer (Branchionus sp), larva echinodermata, larva berbagai moluska, cacing dan lain-lain. Dengan kata lain makin tinggi tingkatan larva kepiting bakau, maka kebiasaan makanpun lebih bersifat carnivora-omnivora (Kasry, 1996).
Glukosa
Glukosa merupakan bahan organik yang dapat menjadi sumber energi dan materi untuk makhluk hidup. Glukosa merupakan salah satu hasil utama fotosintesis dan awal bagi respirasi. Bentuk alami (D-glukosa) disebut juga dekstrosa, terutama pada industri pangan (Mayes et al., 1992). Glukosa (C6H12O6) merupakan sejenis molekul yang mempunyai kumpulan berfungsi sebagai aldehid (-CHO), mengandung 6 atom karbon dan mempunyai berat molekul 180,18. Sifat glukosa adalah larut dalam air, hal ini dikarenakan memiliki struktur yang mengandung kumpulan hidroksil (-OH), bersifat hidrofilik menyebabkan penggabungan dengan molekul air (Anonim, 2007).


Pakan berfungsi sebagai penyedia energi bagi aktivitas sel-sel tubuh. Karbohidrat, lemak dan protein merupakan zat gizi dalam pakan yang berfungsi sebagai sumber energi tubuh. Karbohidrat diserap oleh jaringan tubuh terutama dalam bentuk glukosa, yang berfungsi dalam metabolisme yaitu sebagai sumber energi, sebagai cadangan energi yang ditimbun dalam bentuk glikogen dan untuk diubah menjadi trigliserida maupun asam-asam amino non-esensial. Karbohidrat dalam bentuk monosakarida, setelah mengalami proses penyerapan di dinding usus halus, sebagian besar diangkut oleh aliran darah menuju hati (Buwono, 2000).
Glukosa merupakan karbohidrat yang paling sederhana mengalir dalam aliran darah sehingga tersedia bagi seluruh sel tubuh. Sel-sel tubuh tersebut menyerap glukosa dan mengubahnya menjadi tenaga untuk menjalankan sel-sel tubuh (Anonim, 2007).
Glukosa diserap ke dalam peredaran darah melalui saluran pencernaan. Sebagian glukosa ini kemudian langsung menjadi bahan bakar sel otak, sedangkan yang lainnya menuju hati dan otot, yang menyimpannya sebagai glikogen (pati hewan) dan sel lemak yang menyimpannya sebagai lemak. Meskipun lemak simpanan dapat juga menjadi sumber energi cadangan, lemak tak pernah secara langsung dikonversi menjadi glukosa. Fruktosa dan galaktosa, gula lain yang dihasilkan dari pemecahan karbohidrat, langsung diangkut ke hati yang mengkonversikan menjadi glukosa (Anonim, 2007).
Menurut Affandi et al., (1992) masuknya glukosa kedalam sel memerlukan sistem transport khusus (carrier) untuk mengatasi perbedaan konsentrasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa glukosa sebelum berdifusi melalui membran sel akan diikat oleh ion Na+. Di dinding sel bagian dalam glukosa dan ion Na+ melepaskan diri dari carrier dan masuk kedalam sitoplasma. Carrier kemudian bergerak kembali ke membran plasma bagian luar untuk memfiksasi kembali molekul glukosa dan ion Na+ lainnya, sedangkan ion Na+ dipompakan melalui mekanisme transport aktif ke luar sel. Selanjutnya molekul glukosa di dalam sel berdifusi dari sitoplasma ke ruang antar sel dan seterusnya masuk ke dalam kapiler darah.

Penyakit dan Parasit
Di lingkungan alam, ikan maupun organisme air lainnya dapat diserang berbagai macam parasit. Demikian juga dalam pembudidayaannya, parasit tersebut dapat menyerang organisme air, sehingga kerugian yang ditimbulkannya pun sangat besar (Anonim, 2004).
Penyakit pada ikan maupun organisme air yaitu suatu kedaan abnormal yang ditandai dengan penurunan kemampuan organisme secara gradual dalam mempertahankan fungsi-fungsi fisiologik normal. Pada keadaan tersebut organisme air dalam kondisi tidak seimbang fisiologisnya serta tidak mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Penyebab keadaan sakit disebut dengan penyakit (Irianto, 2005).
Sesuai dengan sifatnya penyakit maka dapat digolongkan menjadi dua yakni penyakit infektif dan penyakit non-infektif. Penyakit infektif adalah suatu penyakit yang disebabkan ikan terinfeksi oleh organisme pathogen yang berasal dari virus, bakteri, jamur ataupun parasit. Adapun penyakit non infektif adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan non pathogen seperti nutrisi (makanan), kualitas air, bahan toxic, dan genetik (Anonim, 2009).
Pemicu terjadinya serangan penyakit antara lain adanya ketidakseimbangan antara daya dukung lingkungan dengan kuantitas produksi dalam satu areal budidaya (infeksi tidak seimbang antara ikan, pathogen, dan lingkungannya). Ditambahkan oleh Anshary (2008) bahwa salah satu bentuk hubungan simbiosis adalah parasitisma, dimana ciri khas hubungan simbiosis ini adalah salah satu jenis organisme yang disebut “parasit” hidup dan mendapat keuntungan dari organisme lainnya yang disebut “inang”.
Parasit adalah organisme yang menumpang hidup pada binatang (inang) hidup (Anonim, 2004). Selanjutnya Afrianto dan Liviawati (1992) menyatakan bahwa parasit sering menimbulkan kerusakan atau mampu menyebabkan kerusakan. Tingkat penularan parasit menurut Fernando et al (1972) dinyatakan dalam nilai prevalensi dan intensitas, dimana prevalensi adalah persentase organisme yang terserang parasit, sedangkan intensitas adalah rata-rata parasit per ekor organisme yang terinfeksi.

Kualitas Air
Dalam pemeliharaan larva kepiting bakau, selain pakan faktor lingkungan banyak menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Agar pertumbuhan dan kelangsungan hidup optimal, maka diperlukan kondisi lingkungan yang optimal untuk kepentingan proses fisiologis pertumbuhan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh, antara lain : suhu, salinitas, pH, oksigen dan lain-lain.
Suhu dapat mempengaruhi beberapa fungsi metabolisme organisme akuatik seperti perkembangan embrionik, pergerakan, pertumbuhan dan reproduksi. Selain itu, suhu juga mempengaruhi moulting dan nafsu makan kepiting bakau (Hill, 1975 dalam Karim, 1998). Menurut Mardjono dkk (1994), kisaran suhu yang optimum bagi kelangsungan hidup larva kepiting bakau yaitu 28-31oC.
Setiap fase dalam daur hidup suatu spesies membutuhkan kisaran salinitas yang berbeda. Menurut Mardjono dkk (1994) dan Yunus dkk (1996), salinitas yang optimum bagi kelangsungan hidup larva kepiting bakau adalah 30-35 ppt. Larva kepiting bakau pada stadia zoea dapat mengalami kematian apabila berada pada salinitas lebih rendah dari 17 ppt. Selanjutnya (Hill, 1975 dalam Karim, 1998) mengemukakan bahwa larva kepiting bakau pada substadia zoea 1 tidak toleran terhadap salinitas rendah (di bawah 17,5 ppt).
Hasil penelitian Yunus (1996) menunjukkan bahwa kadar oksigen terlarut media pemeliharaan berkisar 5,6-5,68 ppm, salinitas 32-33 ppt, pH 7,63-8,80, nitrit 0,115-0,893 ppm dan suhu 26oC mendukung kehidupan larva kepiting bakau dengan sintasan 8,92-18,89%.

III. METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2009, di Balai Budidaya Air Payau (BBAP), Desa Bodia, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Materi Penelitian
Wadah penelitian yang digunakan adalah plastik silinder berwarna hitam bervolume 10 L sebanyak 15 buah yang diisi air media bersalinitas 30 ppt sebanyak 8 L. Wadah-wadah tersebut dilengkapi dengan termostat sebagai pengatur suhu dan peralatan aerasi yang bersumber dari blower mini. Sebelum digunakan, semua wadah media pemeliharaan dan peralatan terlebih dahulu disucihamakan dengan chlorin 15 ppm dan dinetralisir dengan natrium thiosulfat 20 ppm.
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah larva kepiting bakau (S. Serrata) stadia zoea yang dipelihara sampai megalopa dengan kepadatan 50 ekor/L (Karim, 1998). Larva tersebut diperoleh dari hasil pemijahan alami dan penetasan dari induk kepiting yang dipelihara di laboratorium secara terkontrol pada Balai Budidaya Air Payau (BBAP), Takalar. Induk kepiting yang digunakan didatangkan dari perairan Pallime, Kabupaten Bone yang dipelihara dan dipijahkan pada bak beton berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 2 x 2 x 1,5 m.
Pakan yang digunakan pada penelitian ini adalah rotifer (Brachionus plicatilis) dan nauplius artemia. Rotifer sebagai pakan uji diperoleh dari hasil kultur secara massal di Balai Budidaya Air Payau Takalar, sedangkan nauplius artemia berasal dari hasil penetasan kista artemia dari produk komersil yang beredar dipasaran. Kepadatan rotifer yang diberikan adalah 15 ekor/mL, sedangkan artemia 5 ekor/mL. Rotifer diberikan dari stadia Zoea-1 sampai Zoea-3 dan selanjutnya digabung dengan artemia. Pemberian pakan dilakukan setiap pagi pukul 08.00 dan sore pukul 17.00. Pengaplikasian glukosa dalam bentuk cair sehingga dapat larut dengan media. Pemberian glukosa dilakukan 1 kali sehari yakni pada pagi hari setiap sesudah pergantian air selama pengamatan berlangsung.
Prosedur Penelitian
Wadah penelitian yang digunakan, dibersihkan atau disucihamakan terlebih dahulu. Kemudian diisi dengan air yang sudah disterilkan dan langsung dilakukan penebaran larva kepiting bakau dengan kepadatan 50 ind/L. Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari pagi dan sore yakni 08.00 dan 17.00 Wita. Panen dilakukan pada fase megalopa dan dilihat berapa persentase sintasan larva kepiting bakau tersebut dengan menghitung jumlah larva kepiting bakau yang hidup.

Perlakuan dan Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan setiap perlakuan masing-masing menggunakan 3 ulangan. Dengan demikian, penelitian ini terdiri atas 15 satuan percobaan. Adapun perlakuan yang dilakukan adalah pemberian glukosa pada media pemeliharaan dengan konsentrasi sebagai berikut :
A. 0 (Kontrol)
B. 25 ppm
C. 50 ppm
D. 75 ppm
E. 100 ppm
Pengukuran Peubah
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah
a. Prevalensi
Tingkat prevalensi parasit terhadap larva kepiting bakau dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Prev = _N_ x 100%
n
Keterangan :

Prev = Prevalensi (%)
N = Jumlah larva yang terinfeksi parasit (ekor)
n = Jumlah sampel yang diamati (ekor)

b. Intensitas
Intensitas serangan parasit terhadap larva kepiting bakau dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Int = ΣP
n
Keterangan :
Int = Intensitas serangan parasit (sel/ekor)
P = Jumlah prasit yang menyerang (sel)
n = Jumlah larva yang terinfeksi parasit (ekor)

Jenis-jenis parasit diamati pada semua perlakuan dengan menggunakan mikroskop binokuler. Pengamatan parasit dilakukan dengan mengambil sampel dari setiap unit percobaan sebanyak 2 ekor pada awal, pertengahan dan akhir pemeliharaan larva. Parasit yang ditemukan diidentifikasi menurut Sinderman dan Lighter (1988).



c. Uji PCR
Uji PCR terhadap larva dilakukan pada larva hasil penelitian setelah mencapai fase megalopa. Proses PCR dilakukan melalui tahapan-tahapan yang dimulai dari :
Preparasi dan Ekstraksi DNA
1. Sampel diambil dan ditapis menggunakan saringan, sampel dari larva kepiting bakau diambil dan dimasukkan kedalam mikrotube
2. Sampel yang diambil dihancurkan dengan menggunakan motor pastel kemudian sampel tersebut ditambahkan dengan Lysis buffer 500 µl dan di homogenkan dengan Vortex
3. Sampel di inkubasi menggunakan Heating Block dengan suhu 95oC
4. Setelah di inkubasi dengan menggunakan Heating Block, langsung di microcentrifuge untuk menjamin pemisahan cairan dan suspensi (sampel) selama 10 menit.
5. Supernatannya diambil dan diberi etanol, lalu dicentrifuge selama 5 menit
6. Sampel diambil pelletnya, diberi ddH2O dan dihomogenkan dengan menggunakan vortex.
Amplifikasi
1. Setelah proses ekstraksi selesai, sampel dan primer dimasukkan dan disentrifuge kemudian dimasukkan ke dalam Termal Cycler selama 30 menit dengan suhu 94oC , diturunkan menjadi 62oC dan dinaikkan lagi ke 72oC.
2. Setelah First PCR kemudian dilanjutkan dengan Nested PCR, sampel dan nested dihomogenkan selama 1 jam



Elektroforesis
1. Elektoforesis bertujuan untuk menjamin pemisahan DNA dengan benar. Agarose diletakkan ke dalam alat elektroforesis, kemudian sampel dimasukkan ke dalam agarose tersebut.
2. Selanjutnya Marker 5 µl untuk menentukan pasangan asam basanya
3. Pengamatan elektroforesis dengan menggunakan UV Transiluminator
Alat-alat yang digunakan pada proses uji PCR dapat dilihat pada Lampiran 1.
d. Kualitas Air
Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air meliputi suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, dan amoniak. Suhu diukur dengan menggunakan termometer air raksa berketelitian 0,1 0C, pH dengan pH meter, oksigen terlarut dengan DO meter, salinitas dengan hand refractometer dan amoniak dengan menggunakan spektrofotometer.
Pengukuran salinitas, suhu, pH dan oksigen terlarut dilakukan setiap hari sebanyak 2 kali, yaitu pukul 06.00 dan 18.00. Adapun kadar amoniak diukur 3 kali selama penelitian yaitu awal, pertengahan dan akhir penelitian.

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Karena hasilnya memperlihatkan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1993). Adapun parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif berdasarkan kelayakan hidup larva kepiting bakau.





IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian mengenai tingkat serangan parasit pada larva kepiting bakau (S.serrata) stadia zoea-megalopa yang diberi glukosa terlarut, ditemukan dua jenis parasit. Jenis-jenis parasit yang ditemukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Zoothamnium sp
Zoothamnium sp ini berukuran 50-90 x 25-60 µm, berbentuk seperti lonceng yang terbalik, dimana alat pelekatnya terdapat pada ujung batang. Myoneme terlihat jelas dalam batangnya yang transparan. Bila masih hidup, badan yang berbentuk lonceng berdenyut, membuka dan menguncup. Gambar Zoothamnium sp dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.




Gambar 7. Zoothamnium sp yang menginfeksi larva kepiting bakau (S. serrata)
(A). Zoothamnium sp yang menyerang larva kepiting bakau (S. serrata) pada Saat Penelitian
(B). Zoothamnium sp (Warren, 2006)



Gambar 8. Bagian tubuh Zoothamnium sp, (A) Typical Zooid, (B) Stalk, (C) Telotroch, (D) Microzooid, (E) Macrozooid (Warren, 2006)

b. Vorticella sp
Bentuk dari Vorticella sp ini hampir mirip dengan Zoothamnium sp, badan berbentuk seperti lonceng, memiliki myoneme yang terdapat dalam batangnya dan berkontraktil akan tetapi perbedaan mendasarnya adalah pada bentuk, dimana bentuk dari Vorticella sp ini bertangkai tetapi tidak bercabang. Zoothamnium sp dan Vorticella sp merupakan jenis ektoparasit, dimana menyerang pada bagian luar tubuh inang yang diinfeksi.



Gambar Vorticella sp dapat di lihat pada Gambar 9 dan 10 di bawah ini :


Gambar 9. Vorticella sp yang menginfeksi larva kepiting bakau (S. serrata)
(A) Vorticella sp yang menyerang larva kepiting bakau pada saat penelitian
(B) Vorticella sp (Dioni, 2003)


Gambar 10. Anatomi Vorticella sp, (mn) Macronucleus, (dv) Digestive Vacuoles, (m1,m2,m3) Cilia, (vc) Contractile Vesicle, (sp) Spasmoneme (Dioni, 2003)




Prevalensi
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, prevalensi parasit untuk masing-masing jenis parasit yang ditemukan pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda adalah sebagai berikut :
a. Prevalensi Zoothamnium sp
Prevalensi parasit Zoothamnium sp pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Prevalensi Parasit Zoothamnium sp pada Larva Kepiting Bakau (S. serrata) Stadia Zoea-Megalopa dengan Pemberian Glukosa yang Berbeda
Konsentrasi Glukosa (ppm) Prevalensi Zoothamnium sp (%)
0 2.67 ± 0.58b
25 1.00 ± 0.00ab
50 0.67 ± 0.58a
75 1.33 ± 0.58ab
100 2.33 ± 0.58ab





Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada taraf 5% (P<0,05)

Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa prevalensi parasit Zoothamnium sp pada larva kepiting bakau (S. serrata) terendah dihasilkan pada perlakuan glukosa 50 ppm yaitu 0,67%, sedangkan yang tertinggi dihasilkan pada kontrol yaitu 2,67%.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian glukosa pada media pemeliharaan berpengaruh sangat nyata (p<0,05) pada prevalensi parasit Zoothamnium sp larva kepiting bakau (S. serrata) (Lampiran 2). Selanjutnya hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 3) memperlihatkan bahwa konsentrasi glukosa 50 ppm berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol, akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan lainnya.

Tingginya prevalensi parasit Zoothamnium sp pada kontrol disebabkan tidak adanya pemberian glukosa pada media pemeliharaan larva kepiting bakau (S. serrata), sehingga larva tidak memperoleh sumber energi dari glukosa tersebut. Glukosa dalam bentuk glikogen akan menyimpannya sebagai lemak dan sumber energi bagi larva sehingga larva tersebut dapat mempertahankan sintasannya. Hubungan antara dosis glukosa dengan sintasan larva kepiting bakau (S. serrata) dilihat pada Lampiran 4.
Rendahnya prevalensi parasit Zoothamnium sp pada perlakuan glukosa 50 ppm disebabkan adanya peranan glukosa dalam wadah pemeliharaan larva kepiting bakau, dimana konsentrasi glukosa tersebut sudah mencukupi kebutuhan larva kepiting bakau dan tidak melebihi batas optimal. Konsentrasi glukosa 100 ppm sudah melebihi batas optimal bagi tubuh larva kepiting bakau sehingga memberi dampak negatif bahkan bisa berakibat fatal bagi larva (kematian). Menurut Afrianto dan Liviawati (2005), kelebihan glukosa dapat menyebabkan kematian karena akan terjadi penumpukan glukosa pada hati, otot dan jaringan lemak sehingga terjadi penyumbatan pada pembuluh darah dan sistem kerja organ akan terganggu, disamping itu larva juga membutuhkan nutrient lain selain glukosa seperti asam amino dan asam lemak dalam fungsi fisiologisnya. Kadar ideal bagi kandungan glukosa didalam darah ialah lebih kurang 100 mg glukosa bagi setiap 100mL darah (Anonim, 2007).
Zoothamnium sp ini merupakan protozoa yang hidup bebas dari inang satu ke inang yang lain (substrat ke substrat) dengan memperoleh makanan dari inangnya, oleh Sinderman dan Lightner (1988) disebut sebagai parasit ektokomensal yaitu parasit yang hidup pada tubuh organisme lain dari jenis yang berbeda dan mendapat makanan dari inangnya tanpa ada konpensasi apapun.

b. Prevalensi Vorticella sp
Prevalensi parasit Vorticella sp pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun hasil rata-rata prevalensi parasit larva kepiting bakau dapat dilihat pada Lampiran 5
Tabel 2. Prevalensi Parasit Vorticella sp pada Larva Kepiting Bakau (S. serrata) Stadia Zoea-Megalopa dengan Pemberian Glukosa yang Berbeda

Konsentrasi Glukosa (ppm) Prevalensi Vorticella sp (%)
0 2.67 ± 0.58
25 1.67 ± 0.58
50 1.00 ± 1.00
75 1.33 ± 1.15
100 2.33 ± 0.58







Keterangan : Tidak berpengaruh nyata (p>0,05) antar perlakuan


Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pemberian glukosa pada media pemeliharaan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) pada prevalensi parasit Vorticella sp pada larva kepiting bakau (S.serrata) stadia zoea sampai megalopa (Lampiran 6).
Vorticella sp juga merupakan jenis parasit ektokomensal, dimana hidup pada inang dengan memperoleh makanan pada inang tersebut tanpa ada konpensasi apapun. Fase pertumbuhan Vorticella sp ini dimulai dengan schizogania yakni secara membelah dan terjadi setelah menginfeksi inang, selanjutnya sporogoni yakni pembentukan spora di luar inang dan merupakan stadium efektif (Arbur, 2002)



Intensitas
Intensitas parasit pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda adalah sebagai berikut :
a. Intensitas Zoothamnium sp
Intensitas parasit Zoothamnium sp pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Intensitas parasit Zoothamnium sp pada Larva Kepiting Bakau (S. serrata) Stadia Zoea-Megalopa dengan Pemberian Glukosa yang Berbeda
Konsentrasi Glukosa (ppm) Intensitas Zoothamnium sp (sel/ekor)
0 1.00 ± 0.00
25 1.00 ± 0.00
50 1.00 ± 1.00
75 1.00± 0.00
100 1.00± 0.00










Keterangan : Tidak berpengaruh nyata (p>0,05) antar perlakuan

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pemberian glukosa pada media pemeliharaan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) pada intensitas parasit Vorticella sp untuk larva kepiting bakau (S.serrata) stadia zoea sampai megalopa (Lampiran 7)
b. Intensitas Vorticella sp
Intensitas parasit Vorticella sp pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.



Tabel 4. Intensitas parasit Vorticella sp pada Larva Kepiting Bakau (S. serrata) Stadia Zoea-Megalopa dengan Pemberian Glukosa yang Berbeda
Konsentrasi Glukosa (ppm) Intensitas Vorticella sp (sel/ekor)
0 1.33 ± 0.34
25 1.33 ± 0.58
50 0.67 ± 0.58
75 0.67 ± 0.58
100 1.17 ± 0.29





Keterangan : Tidak berpengaruh nyata (p>0,05) antar perlakuan

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pemberian glukosa pada media pemeliharaan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) pada intensitas parasit Vorticella sp untuk larva kepiting bakau (S.serrata) stadia zoea sampai megalopa (Lampiran 8)
Intensitas serangan parasit untuk masing-masing parasit tidak terlalu memperlihatkan tanda-tanda kritis, dimana tingkat penularannya masih dalam tahap yang kecil. Hal ini didukung oleh pernyataan Fernando dkk, (1972 dalam Hasanah, 1989) bahwa intensitas ektoparasit 2 sampai 5 sel/ekor belum begitu berbahaya, sedangkan intensitas 7 sampai 10 sel/ekor ke atas berbahaya bagi kehidupan organisme budidaya. Rata-rata intensitas serangan parasit dapat dilihat pada Lampiran 9.
Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa tingkat serangan parasit masih dalam tahap yang tidak terlalu berbahaya bagi larva sehingga larva masih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Glukosa dapat meminimalisasi adanya serangan pathogen dari luar, sehingga memungkinkan larva akan tetap survive terhadap serangan parasit maupun perubahan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Raa et al (1992) bahwa dalam pertahanan non spesifik, gula bereaksi dengan aglutinin sehingga mengaktifkan haemocyt untuk melakukan fagositosis terhadap parasit.
Haemocyt adalah sel-sel reaktif yang mempunyai tiga jenis sel yang berbeda yaitu hialin, semi granular dan granular. Perbedaan jenis sel inilah yang berperan dalam pembentukan kekebalan diinding sel semi granular dan sel granular (Nangga dkk, 1999). Sel hialin memiliki fungsi untuk memfagositosis bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh larva kepiting bakau. Bentuk dari sel hialin yaitu : elips, dan tidak bergranula. Sel semi granular memiliki ciri-ciri : lebih besar dari hialin, bentuk oval memanjang dengan jumlah yang jarang dan menyebar, memiliki nukleus bulat ditengah, sitoplasma berisi granular yang padat. Sel granular memiliki fungsi membentuk kekebalan tubuh terhadap penyakit, sama dengan fungsi sel hialin dan sel semigranular. Ketiga sel ini membentuk sistem kekebalan melalui mekanisme kerja tertentu dalam tubuh. Sel granular memiliki ciri-ciri : bentuk bulat, nukleus bulat di tengah, sitoplasma berisi granular yang padat. Kelimpahan hemosit berhubungan erat dengan tipe jenis kelamin, moulting, perkembangan fisiologis, status reproduksi, nutrisi dan sirkulasi. Penurunan jumlah hemosit secara ekstrim dapat pula terjadi bila organisme mengalami stres (Chang et al.,2003:Song et al.,2003).
Hasil PCR
Uji PCR (Polymerase Chain Reaction) digunakan untuk deteksi dini (Early Warning System) sebelum timbul gejala klinis pada ikan maupun crustacea terhadap beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus. PCR merupakan teknik amplikasi DNA sekuen tertentu melalui 3 tahap yaitu ekstraksi asam nukleat, amplikasi DNA dan elektrophoresis. Dengan metode ini dapat ditentukan apakah sampel yang diuji terinfeksi virus atau tidak.

Hasil PCR yang dilakukan pada larva kepiting bakau (S.serrata) dengan menggunakan parameter uji WSSV (White Spot Sindrome Virus) dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Hasil pengamatan PCR larva kepiting bakau (S. serrata) dengan menggunakan parameter uji WSSV

Berdasarkan gambar di atas, maka dapat dilihat bahwa pada perlakuan A dan E terinfeksi virus WSSV, akan tetapi tingkat serangannya masih ringan. Pada perlakuan B, C dan E tidak terdeteksi atau tidak terinfeksi virus (WSSV). Sampel dikatakan negative apabila hanya terlihat satu band yang sejajar dengan 848 bp. Sampel dikatakan positif apabila bandnya berada pada posisi 296 bp dan atau 550 bp.












Kualitas Air

Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran beberapa peubah kualitas air media pemeliharaan larva kepiting bakau yang meliputi salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut dan amoniak. Salinitas media pemeliharaan untuk semua perlakuan selama penelitian berkisar antara 30-32 ppt. Kisaran salinitas ini layak untuk kehidupan larva kepiting bakau. Menurut Mardjono dkk, (1994) dan Yunus dkk, (1996) bahwa salinitas optimum bagi kelangsungan hidup larva kepiting bakau adalah berkisar 30-35 ppt.
Suhu air untuk semua perlakuan selama penelitian berkisar antara 30-31oC. Kisaran ini masih layak untuk kehidupan larva kepiting bakau. Menurut Mardjono dkk, (1994) bahwa kisaran suhu yang optimum bagi kelangsungan hidup larva kepiting bakau yaitu 28-31oC.
Kisaran pH untuk semua perlakuan selama penelitian adalah 7,6-8,0. Kisaran pH ini layak untuk kehidupan larva kepiting bakau. Hal ini sesuai dengan pedapat Yunus dkk, (1996) bahwa pH yang layak bagi kelangsungan hidup larva kepiting bakau berkisar antara 7,63-8,80.
Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar antara 5,6-7,5 ppm. Nilai ini masih berada pada kisaran yang layak bagi kehidupan maupun pertumbuhan larva kepiting bakau yang dipelihara. Menurut Apud (1981 dalam Karim 1998) mengatakan bahwa kebutuhan minimal oksigen bagi larva crustacean adalah 3 ppm.
Kadar amoniak selama penelitian berkisar antara 0,0085-0,0204 ppm. Menurut Yunus dkk (1996) bahwa nilai ini masih layak bagi kehidupan larva kepiting bakau. Hasil pengamatan kualitas air dapat dilihat pada Lampiran 10.


V. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal, diantaranya :
1. Pemberian glukosa yang berbeda pada media pemeliharaan larva kepiting bakau (S. serrata) berbeda sangat nyata terhadap prevalensi Zoothamnium sp dengan nilai prevalensinya tertinggi pada kontrol (2,67%) dan terendah pada perlakuan glukosa 50 ppm (0,67%) akan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap prevalensi Vorticella sp. Pemberian glukosa tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas parasit baik Zothamnium sp maupun Vorticella sp.
2. Hasil PCR dengan menggunakan parameter uji WSSV, didapatkan bahwa pada larva dengan perlakuan A (kontrol) dan E (100 ppm) terinfeksi virus WSSV tapi tingkat serangannya ringan. Sedangkan untuk perlakuan B (25 ppm), C (50 ppm) dan D (75 ppm) tidak terinfeksi virus WSSV
3. Kualitas air masih dalam kisaran yang layak untuk kelangsungan hidup larva kepiting bakau

Saran
Dalam pemeliharaan larva kepiting bakau (S. serrata) sebaiknya menggunakan glukosa terlarut pada media pemeliharaannya dengan konsentrasi 50 ppm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar