Minggu, 03 Januari 2010

Tingkat Serangan Parasit Yang Menyerang Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata) Stadia Zoea-Megalopa Yang Diberi Glukosa Terlarut

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di hutan bakau (mangrove). Dengan sumberdaya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan pantai nusantara maka tidak heran jika Indonesia dikenal sebagai pengekspor kepiting yang cukup besar dibandingkan dengan negara-negara produsen kepiting lainnya (Kanna, 2002).
Kepiting bakau mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, baik di pasar domestik (dalam negeri) maupun pasar mancanegara (luar negeri), terutama kepiting yang sudah matang gonad dan sudah dewasa atau gemuk. Nilai ekonomis kepiting yang terus meningkat merangsang para petani untuk membudidayakannya di tambak. Salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya kepiting bakau adalah ketersediaan benih. Selama ini kebutuhan benih kepiting bakau seluruhnya masih mengandakan hasil penangkapan di alam yang jumlahnya terbatas dan dipengaruhi oleh musim. Dengan kondisi demikian, maka salah satu cara untuk mengatasi penyediaan benih adalah melalui usaha pembenihan. (Kanna, 2002).
Tolok ukur keberhasilan usaha pembenihan kepiting bakau adalah produksi benih yang ditandai dengan sintasan larva yang tinggi. Namun masalah utama yang dihadapi oleh usaha pembenihan kepiting bakau dewasa ini adalah rendahnya sintasan larva terutama pada stadia zoea hingga megalopa. Berdasarkan beberapa hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan kepiting bakau berkisar 18,60% (Karim, 2003).
Salah satu penyebab kematian larva kepiting bakau dapat terjadi antara lain diduga karena adanya patogen. Dilaporkan bahwa parasit bersifat patogen dan dapat menyebabkan kematian massal bagi larva kepiting bakau. Beberapa parasit yang biasanya menyerang kepiting bakau adalah Zoothamnium sp, Vorticella sp dan Epistylis sp. Selain itu kematian larva kepiting bakau disebabkan lingkungan yang tidak optimal serta nutrisi yang tidak tercukupi pada fase pemeliharaan. Kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi memicu terjadinya defisiensi pada larva yang dapat menyebabkan gagal berganti kulit dan akhirnya mati. Dengan demikian, diperlukan penambahan nutrien yang dapat langsung dimanfaatkan oleh larva kepiting sebagai sumber energi dan salah satunya adalah glukosa terlarut.
Glukosa dapat diserap oleh larva dan menghasilkan energi melalui proses oksidasi (Jamal, 1995). Glukosa monosakarida merupakan bentuk paling sederhana dari karbohidrat yang memiliki sifat larut dalam air sehingga penggunaan glukosa dalam media pemeliharaan sangat bagus (Anonim, 2007). Anwar dan Piliang (1992) menyatakan bahwa karbohidrat berperan penting dalam biokimia sellular karena fungsinya sebagai sumber energi dan persediaan makanan di dalam tubuh.
Penelitian tentang penggunaan glukosa telah dilakukan oleh Jamal (1995) pada ikan betutu dengan sintasan larva 8.33% dan Daniaty (2008) pada larva kepiting bakau dengan sintasan larva 25,79% pada pemberian glukosa 50 ppm. Hasil penelitian tersebut terbukti dapat meningkatkan sintasan larva ikan betutu, kepiting bakau dan larva ikan beronang. Jika glukosa dapat meningkatkan sintasan larva ikan betutu, kepiting bakau dan ikan beronang maka kemungkinan juga dapat terjadi peningkatan hemocyt sehingga hal tersebut dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada larva kepiting bakau. Terkait dengan hal tersebut, maka penggunaan glukosa pada media pemeliharaan bisa meningkatkan daya tahan larva terhadap serangan parasit sehingga tingkat sintasannya akan lebih tinggi dan hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat serangan parasit larva kepiting bakau (S. Serrata) yang diberi glukosa terlarut pada media pemeliharaan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan informasi tentang penggunaan glukosa pada usaha pembenihan kepiting bakau, khususnya pada stadia zoea-megalopa.














II. TINJAUAN PUSTAKA

Sistematika dan Ciri Morfologi
Kepiting bakau atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan ’’Mangrove crab’’ atau ’’Mud crab’’. Secara taksonomi kepiting bakau diklasifikasikan oleh Stephenson dan Campbell (1959), Motoh (1977), Warner (1980) dan Keenan et. al. (1998) sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Subclass : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Potunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata
Berdasarkan morfologi yang dinyatakan oleh Kanna (2002), bahwa kepiting bakau (S. serrata) memiliki warna relatif sama dengan warna lumpur, yaitu coklat kehitam-hitaman pada bagian karapasnya dan putih kekuning-kuningan pada bagian abdomennya. Pada propudus bagian atas terdapat sepasang duri yang runcing dan 1 buah duri pada propudus bagian bawah. Kepiting bakau juga mempunyai 3 pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang. Pada dahi antara sepasang matanya terdapat 6 buah duri dan disamping kanan dan kirinya masing-masing terdapat 9 buah duri. Kepiting bakau jantan mempunyai sepasang capit yang dapat mencapai panjang hampir dua kali lipat dari pada panjang karapasnya, sedangkan kepiting bakau betina relatif lebih pendek (Gambar 1-3). Selain itu kepiting bakau berjenis kelamin jantan ditandai dengan abdomen bagian bawah berbentuk segitiga meruncing, sedangkan pada kepiting bakau betina melebar. Abdomen jantan dan betina kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 1 : Morfologi kepiting bakau (S. serrata)


Gambar 2 : Bentuk capit dan duri diantara kedua mata kepiting bakau (S. serrata)


Gambar 3 : Bentuk duri pada bagian belakang capit kepiting bakau (S. serrata)



Gambar 4. Abdomen jantan dan betina kepiting bakau



Siklus Hidup Kepiting Bakau
Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan atau membesarkan diri. Setelah perkawinan berlangsung, kepiting betina yang telah melakukan perkawinan secara pelan-pelan akan beruaya di perairan bakau, tambak, ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak, di sela-sela bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang organisme makanannya berlimpah (Kanna, 2002).
Menurut Ansari (2007), bila kondisi ekologi mendukung, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3 – 4 tahun. Sementara itu pada umur 12 - 14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat dipijahkan. Sekali memijah, kepiting bisa menghasilkan jutaan telur tergantung ukuran induk. Di alam bebas, jumlah larva yang mampu menjadi kepiting muda sangat kecil, hal ini disebabkan antara lain faktor lingkungan yang tidak mendukung dan banyaknya musuh alami. Sekali melakukan pemijahan kepiting betina mampu menyimpan sperma jantan dan dapat melakukan pemijahan hingga tiga kali tanpa perkawinan lagi. Siklus hidup kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Siklus hidup kepiting bakau
Kepiting bakau mengalami perkembangan dari telur (embrio) sampai dewasa melalui beberapa stadia diantaranya zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting dewasa. Stadia zoea terdiri atas 5 substadia yang dibedakan dengan adanya penambahan atau perkembangan organ tubuh, baik organ tubuh yang menunjang kemampuan untuk bergerak maupun untuk aktivitas makan (Kasry, 1996).
Menurut Kanna (2002), dalam menjalani kehidupannya kepiting bakau mengalami tiga stadia, yakni sebagai berikut :
1. Stadia Zoea
Stadia zoea merupakan stadia awal dari kepiting bakau yang terdiri atas 5 sub-stadia yang perkembangan seluruhnya memerlukan waktu 18-20 hari. perkembangan dari Zoea-1 ke tingkat zoea selanjutnya memerlukan waktu 3-4 hari. Menurut quintio (2003), stadia Zoea kepiting bakau terdiri atas 5 sub-stadia sebagai berikut :
a. Sub Stadia Zoea 1
Larva kepiting bakau pada zoea-1 berwarna transparan, berukuran panjang tubuh 1,15 mm, dari rostrum 0,35 mm, duri dorsal 0,48 mm, duri lateral 0,19 mm, dan mata menempel. antenule tidak bersegmen dan pendek. Antenna berduri panjang, mandibbula lebar, relatif keras dengan dua gigi dan pinggiran bergerigi tajam. Larva kepiting belum aktif menangkap pakan.
b. Sub Stadia Zoea-2
Larva kepiting bakau, pada sub stadia zoea-2 lebih aktif menangkap pakan, karena organ tubuhnya makin berkembang, baik dalam ukuran maupun fungsinya. Ciri morfologi dari substadium Zoea- 2 antara lain : panjang tubuh larva mencapai 1,51 mm, duri rostrum 0,39 mm, duri dorsal 0,54 mm, duri lateral 0,2 mm, mata bertangkai.

c. Sub Stadia Zoea-3
Larva kepiting bakau pada sub-stadia zoea-3 aktif menangkap pakan dan telah memiliki organ tubuh yang paling lengkap. Ciri morfologi dari substadia ini adalah : panjang tubuh 1,93 mm, duri rostrum 0,52 mm, duri dorsal 0,63 mm, duri lateral 0,24 mm, antenulle seperti pada zoea-2 tetapi lebih besar. Perkembangan bagian thoracic belum sempurna. duri lateral pada pleomore-3 sampai 5 panjang dan abdomen mempunyai 8 somite.
d. Sub Stadia Zoea-4
Larva kepiting bakau pada sub-stadia zoea-4 makin tampak keaktifannya karena ditunjang oleh perkembangan organ tubuhnya. Pada substadia ini larva dilengkapi dengan terbentuknnya maxilipied- 3 dan cheliped bergerak. panjang tubuh 2,40 mm, duri rostrum 0,72 mm, duri dorsal 0,86 mm, duri lateral 0,28 mm.
e. Sub Stadia Zoea-5
Larva kepiting bakau sub-stadia zoea-5 mampu secara efektif memangsa pakan yang diberikan dan telah aktif berenang. Hal ini ditunjang dengan pleopoda yang sudah cukup panjang dan peripoda mulai ada. Ciri-ciri lainnya adalah : panjang tubuh 3,43 mm, antenulle dengan aesthetes dalam tiga tingkatan, dan endopodite merupakan kuncup.
2. Stadia Megalopa
Pada fase megalopa, larva kepiting bakau telah mampu menggigit yang dicirikan dengan tumbuhnya gigi tajam pada bagian pinggir mandibula dan maxilipied- 3 makin sempurna. Periode megalopa berlangsung menjadi 7-8 hari.
3. Stadia Crab (kepiting Bakau)
Kepiting muda dalam pembenihan kepiting bakau sering juga di sebut stadia crab atau instar. Stadia crab (kepiting muda) telah memiliki organ tubuh yang lengkap seperti halnya kepiting dewasa, namun ukuranya masih kecil
Menurut Brock (1984), perkembangan larva kepiting bakau dari stadia zoea sampai megalopa dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Larva kepiting bakau (S. serrata) stadia zoea sampai stadia megalopa


Makanan dan Kebiasaan Makan
Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segala dan pemakan bangkai. Tangan dan capitnya yang besar dan kuat memungkinkan menyerang musuh dengan ganas atau merobek-robek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut dibawa ke mulut dengan kedua capitnya, waktu makannya juga tidak beraturan namun malam hari tampaknya lebih aktif makan dari siang hari (Kasry,1996).
Berbeda dengan kepiting dewasa, larva kepiting lebih bersifat pemakan plankton, khususnya larva-larva pada tingkat awal. Makanannya terdiri atas berbagai organisme planktonik seperti diatom, Tetraselmis, Chlorella, rotifer (Branchionus sp), larva echinodermata, larva berbagai moluska, cacing dan lain-lain. Dengan kata lain makin tinggi tingkatan larva kepiting bakau, maka kebiasaan makanpun lebih bersifat carnivora-omnivora (Kasry, 1996).
Glukosa
Glukosa merupakan bahan organik yang dapat menjadi sumber energi dan materi untuk makhluk hidup. Glukosa merupakan salah satu hasil utama fotosintesis dan awal bagi respirasi. Bentuk alami (D-glukosa) disebut juga dekstrosa, terutama pada industri pangan (Mayes et al., 1992). Glukosa (C6H12O6) merupakan sejenis molekul yang mempunyai kumpulan berfungsi sebagai aldehid (-CHO), mengandung 6 atom karbon dan mempunyai berat molekul 180,18. Sifat glukosa adalah larut dalam air, hal ini dikarenakan memiliki struktur yang mengandung kumpulan hidroksil (-OH), bersifat hidrofilik menyebabkan penggabungan dengan molekul air (Anonim, 2007).


Pakan berfungsi sebagai penyedia energi bagi aktivitas sel-sel tubuh. Karbohidrat, lemak dan protein merupakan zat gizi dalam pakan yang berfungsi sebagai sumber energi tubuh. Karbohidrat diserap oleh jaringan tubuh terutama dalam bentuk glukosa, yang berfungsi dalam metabolisme yaitu sebagai sumber energi, sebagai cadangan energi yang ditimbun dalam bentuk glikogen dan untuk diubah menjadi trigliserida maupun asam-asam amino non-esensial. Karbohidrat dalam bentuk monosakarida, setelah mengalami proses penyerapan di dinding usus halus, sebagian besar diangkut oleh aliran darah menuju hati (Buwono, 2000).
Glukosa merupakan karbohidrat yang paling sederhana mengalir dalam aliran darah sehingga tersedia bagi seluruh sel tubuh. Sel-sel tubuh tersebut menyerap glukosa dan mengubahnya menjadi tenaga untuk menjalankan sel-sel tubuh (Anonim, 2007).
Glukosa diserap ke dalam peredaran darah melalui saluran pencernaan. Sebagian glukosa ini kemudian langsung menjadi bahan bakar sel otak, sedangkan yang lainnya menuju hati dan otot, yang menyimpannya sebagai glikogen (pati hewan) dan sel lemak yang menyimpannya sebagai lemak. Meskipun lemak simpanan dapat juga menjadi sumber energi cadangan, lemak tak pernah secara langsung dikonversi menjadi glukosa. Fruktosa dan galaktosa, gula lain yang dihasilkan dari pemecahan karbohidrat, langsung diangkut ke hati yang mengkonversikan menjadi glukosa (Anonim, 2007).
Menurut Affandi et al., (1992) masuknya glukosa kedalam sel memerlukan sistem transport khusus (carrier) untuk mengatasi perbedaan konsentrasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa glukosa sebelum berdifusi melalui membran sel akan diikat oleh ion Na+. Di dinding sel bagian dalam glukosa dan ion Na+ melepaskan diri dari carrier dan masuk kedalam sitoplasma. Carrier kemudian bergerak kembali ke membran plasma bagian luar untuk memfiksasi kembali molekul glukosa dan ion Na+ lainnya, sedangkan ion Na+ dipompakan melalui mekanisme transport aktif ke luar sel. Selanjutnya molekul glukosa di dalam sel berdifusi dari sitoplasma ke ruang antar sel dan seterusnya masuk ke dalam kapiler darah.

Penyakit dan Parasit
Di lingkungan alam, ikan maupun organisme air lainnya dapat diserang berbagai macam parasit. Demikian juga dalam pembudidayaannya, parasit tersebut dapat menyerang organisme air, sehingga kerugian yang ditimbulkannya pun sangat besar (Anonim, 2004).
Penyakit pada ikan maupun organisme air yaitu suatu kedaan abnormal yang ditandai dengan penurunan kemampuan organisme secara gradual dalam mempertahankan fungsi-fungsi fisiologik normal. Pada keadaan tersebut organisme air dalam kondisi tidak seimbang fisiologisnya serta tidak mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Penyebab keadaan sakit disebut dengan penyakit (Irianto, 2005).
Sesuai dengan sifatnya penyakit maka dapat digolongkan menjadi dua yakni penyakit infektif dan penyakit non-infektif. Penyakit infektif adalah suatu penyakit yang disebabkan ikan terinfeksi oleh organisme pathogen yang berasal dari virus, bakteri, jamur ataupun parasit. Adapun penyakit non infektif adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan non pathogen seperti nutrisi (makanan), kualitas air, bahan toxic, dan genetik (Anonim, 2009).
Pemicu terjadinya serangan penyakit antara lain adanya ketidakseimbangan antara daya dukung lingkungan dengan kuantitas produksi dalam satu areal budidaya (infeksi tidak seimbang antara ikan, pathogen, dan lingkungannya). Ditambahkan oleh Anshary (2008) bahwa salah satu bentuk hubungan simbiosis adalah parasitisma, dimana ciri khas hubungan simbiosis ini adalah salah satu jenis organisme yang disebut “parasit” hidup dan mendapat keuntungan dari organisme lainnya yang disebut “inang”.
Parasit adalah organisme yang menumpang hidup pada binatang (inang) hidup (Anonim, 2004). Selanjutnya Afrianto dan Liviawati (1992) menyatakan bahwa parasit sering menimbulkan kerusakan atau mampu menyebabkan kerusakan. Tingkat penularan parasit menurut Fernando et al (1972) dinyatakan dalam nilai prevalensi dan intensitas, dimana prevalensi adalah persentase organisme yang terserang parasit, sedangkan intensitas adalah rata-rata parasit per ekor organisme yang terinfeksi.

Kualitas Air
Dalam pemeliharaan larva kepiting bakau, selain pakan faktor lingkungan banyak menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Agar pertumbuhan dan kelangsungan hidup optimal, maka diperlukan kondisi lingkungan yang optimal untuk kepentingan proses fisiologis pertumbuhan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh, antara lain : suhu, salinitas, pH, oksigen dan lain-lain.
Suhu dapat mempengaruhi beberapa fungsi metabolisme organisme akuatik seperti perkembangan embrionik, pergerakan, pertumbuhan dan reproduksi. Selain itu, suhu juga mempengaruhi moulting dan nafsu makan kepiting bakau (Hill, 1975 dalam Karim, 1998). Menurut Mardjono dkk (1994), kisaran suhu yang optimum bagi kelangsungan hidup larva kepiting bakau yaitu 28-31oC.
Setiap fase dalam daur hidup suatu spesies membutuhkan kisaran salinitas yang berbeda. Menurut Mardjono dkk (1994) dan Yunus dkk (1996), salinitas yang optimum bagi kelangsungan hidup larva kepiting bakau adalah 30-35 ppt. Larva kepiting bakau pada stadia zoea dapat mengalami kematian apabila berada pada salinitas lebih rendah dari 17 ppt. Selanjutnya (Hill, 1975 dalam Karim, 1998) mengemukakan bahwa larva kepiting bakau pada substadia zoea 1 tidak toleran terhadap salinitas rendah (di bawah 17,5 ppt).
Hasil penelitian Yunus (1996) menunjukkan bahwa kadar oksigen terlarut media pemeliharaan berkisar 5,6-5,68 ppm, salinitas 32-33 ppt, pH 7,63-8,80, nitrit 0,115-0,893 ppm dan suhu 26oC mendukung kehidupan larva kepiting bakau dengan sintasan 8,92-18,89%.

III. METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2009, di Balai Budidaya Air Payau (BBAP), Desa Bodia, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Materi Penelitian
Wadah penelitian yang digunakan adalah plastik silinder berwarna hitam bervolume 10 L sebanyak 15 buah yang diisi air media bersalinitas 30 ppt sebanyak 8 L. Wadah-wadah tersebut dilengkapi dengan termostat sebagai pengatur suhu dan peralatan aerasi yang bersumber dari blower mini. Sebelum digunakan, semua wadah media pemeliharaan dan peralatan terlebih dahulu disucihamakan dengan chlorin 15 ppm dan dinetralisir dengan natrium thiosulfat 20 ppm.
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah larva kepiting bakau (S. Serrata) stadia zoea yang dipelihara sampai megalopa dengan kepadatan 50 ekor/L (Karim, 1998). Larva tersebut diperoleh dari hasil pemijahan alami dan penetasan dari induk kepiting yang dipelihara di laboratorium secara terkontrol pada Balai Budidaya Air Payau (BBAP), Takalar. Induk kepiting yang digunakan didatangkan dari perairan Pallime, Kabupaten Bone yang dipelihara dan dipijahkan pada bak beton berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 2 x 2 x 1,5 m.
Pakan yang digunakan pada penelitian ini adalah rotifer (Brachionus plicatilis) dan nauplius artemia. Rotifer sebagai pakan uji diperoleh dari hasil kultur secara massal di Balai Budidaya Air Payau Takalar, sedangkan nauplius artemia berasal dari hasil penetasan kista artemia dari produk komersil yang beredar dipasaran. Kepadatan rotifer yang diberikan adalah 15 ekor/mL, sedangkan artemia 5 ekor/mL. Rotifer diberikan dari stadia Zoea-1 sampai Zoea-3 dan selanjutnya digabung dengan artemia. Pemberian pakan dilakukan setiap pagi pukul 08.00 dan sore pukul 17.00. Pengaplikasian glukosa dalam bentuk cair sehingga dapat larut dengan media. Pemberian glukosa dilakukan 1 kali sehari yakni pada pagi hari setiap sesudah pergantian air selama pengamatan berlangsung.
Prosedur Penelitian
Wadah penelitian yang digunakan, dibersihkan atau disucihamakan terlebih dahulu. Kemudian diisi dengan air yang sudah disterilkan dan langsung dilakukan penebaran larva kepiting bakau dengan kepadatan 50 ind/L. Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari pagi dan sore yakni 08.00 dan 17.00 Wita. Panen dilakukan pada fase megalopa dan dilihat berapa persentase sintasan larva kepiting bakau tersebut dengan menghitung jumlah larva kepiting bakau yang hidup.

Perlakuan dan Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan setiap perlakuan masing-masing menggunakan 3 ulangan. Dengan demikian, penelitian ini terdiri atas 15 satuan percobaan. Adapun perlakuan yang dilakukan adalah pemberian glukosa pada media pemeliharaan dengan konsentrasi sebagai berikut :
A. 0 (Kontrol)
B. 25 ppm
C. 50 ppm
D. 75 ppm
E. 100 ppm
Pengukuran Peubah
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah
a. Prevalensi
Tingkat prevalensi parasit terhadap larva kepiting bakau dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Prev = _N_ x 100%
n
Keterangan :

Prev = Prevalensi (%)
N = Jumlah larva yang terinfeksi parasit (ekor)
n = Jumlah sampel yang diamati (ekor)

b. Intensitas
Intensitas serangan parasit terhadap larva kepiting bakau dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Int = ΣP
n
Keterangan :
Int = Intensitas serangan parasit (sel/ekor)
P = Jumlah prasit yang menyerang (sel)
n = Jumlah larva yang terinfeksi parasit (ekor)

Jenis-jenis parasit diamati pada semua perlakuan dengan menggunakan mikroskop binokuler. Pengamatan parasit dilakukan dengan mengambil sampel dari setiap unit percobaan sebanyak 2 ekor pada awal, pertengahan dan akhir pemeliharaan larva. Parasit yang ditemukan diidentifikasi menurut Sinderman dan Lighter (1988).



c. Uji PCR
Uji PCR terhadap larva dilakukan pada larva hasil penelitian setelah mencapai fase megalopa. Proses PCR dilakukan melalui tahapan-tahapan yang dimulai dari :
Preparasi dan Ekstraksi DNA
1. Sampel diambil dan ditapis menggunakan saringan, sampel dari larva kepiting bakau diambil dan dimasukkan kedalam mikrotube
2. Sampel yang diambil dihancurkan dengan menggunakan motor pastel kemudian sampel tersebut ditambahkan dengan Lysis buffer 500 µl dan di homogenkan dengan Vortex
3. Sampel di inkubasi menggunakan Heating Block dengan suhu 95oC
4. Setelah di inkubasi dengan menggunakan Heating Block, langsung di microcentrifuge untuk menjamin pemisahan cairan dan suspensi (sampel) selama 10 menit.
5. Supernatannya diambil dan diberi etanol, lalu dicentrifuge selama 5 menit
6. Sampel diambil pelletnya, diberi ddH2O dan dihomogenkan dengan menggunakan vortex.
Amplifikasi
1. Setelah proses ekstraksi selesai, sampel dan primer dimasukkan dan disentrifuge kemudian dimasukkan ke dalam Termal Cycler selama 30 menit dengan suhu 94oC , diturunkan menjadi 62oC dan dinaikkan lagi ke 72oC.
2. Setelah First PCR kemudian dilanjutkan dengan Nested PCR, sampel dan nested dihomogenkan selama 1 jam



Elektroforesis
1. Elektoforesis bertujuan untuk menjamin pemisahan DNA dengan benar. Agarose diletakkan ke dalam alat elektroforesis, kemudian sampel dimasukkan ke dalam agarose tersebut.
2. Selanjutnya Marker 5 µl untuk menentukan pasangan asam basanya
3. Pengamatan elektroforesis dengan menggunakan UV Transiluminator
Alat-alat yang digunakan pada proses uji PCR dapat dilihat pada Lampiran 1.
d. Kualitas Air
Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air meliputi suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, dan amoniak. Suhu diukur dengan menggunakan termometer air raksa berketelitian 0,1 0C, pH dengan pH meter, oksigen terlarut dengan DO meter, salinitas dengan hand refractometer dan amoniak dengan menggunakan spektrofotometer.
Pengukuran salinitas, suhu, pH dan oksigen terlarut dilakukan setiap hari sebanyak 2 kali, yaitu pukul 06.00 dan 18.00. Adapun kadar amoniak diukur 3 kali selama penelitian yaitu awal, pertengahan dan akhir penelitian.

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Karena hasilnya memperlihatkan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1993). Adapun parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif berdasarkan kelayakan hidup larva kepiting bakau.





IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian mengenai tingkat serangan parasit pada larva kepiting bakau (S.serrata) stadia zoea-megalopa yang diberi glukosa terlarut, ditemukan dua jenis parasit. Jenis-jenis parasit yang ditemukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Zoothamnium sp
Zoothamnium sp ini berukuran 50-90 x 25-60 µm, berbentuk seperti lonceng yang terbalik, dimana alat pelekatnya terdapat pada ujung batang. Myoneme terlihat jelas dalam batangnya yang transparan. Bila masih hidup, badan yang berbentuk lonceng berdenyut, membuka dan menguncup. Gambar Zoothamnium sp dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.




Gambar 7. Zoothamnium sp yang menginfeksi larva kepiting bakau (S. serrata)
(A). Zoothamnium sp yang menyerang larva kepiting bakau (S. serrata) pada Saat Penelitian
(B). Zoothamnium sp (Warren, 2006)



Gambar 8. Bagian tubuh Zoothamnium sp, (A) Typical Zooid, (B) Stalk, (C) Telotroch, (D) Microzooid, (E) Macrozooid (Warren, 2006)

b. Vorticella sp
Bentuk dari Vorticella sp ini hampir mirip dengan Zoothamnium sp, badan berbentuk seperti lonceng, memiliki myoneme yang terdapat dalam batangnya dan berkontraktil akan tetapi perbedaan mendasarnya adalah pada bentuk, dimana bentuk dari Vorticella sp ini bertangkai tetapi tidak bercabang. Zoothamnium sp dan Vorticella sp merupakan jenis ektoparasit, dimana menyerang pada bagian luar tubuh inang yang diinfeksi.



Gambar Vorticella sp dapat di lihat pada Gambar 9 dan 10 di bawah ini :


Gambar 9. Vorticella sp yang menginfeksi larva kepiting bakau (S. serrata)
(A) Vorticella sp yang menyerang larva kepiting bakau pada saat penelitian
(B) Vorticella sp (Dioni, 2003)


Gambar 10. Anatomi Vorticella sp, (mn) Macronucleus, (dv) Digestive Vacuoles, (m1,m2,m3) Cilia, (vc) Contractile Vesicle, (sp) Spasmoneme (Dioni, 2003)




Prevalensi
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, prevalensi parasit untuk masing-masing jenis parasit yang ditemukan pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda adalah sebagai berikut :
a. Prevalensi Zoothamnium sp
Prevalensi parasit Zoothamnium sp pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Prevalensi Parasit Zoothamnium sp pada Larva Kepiting Bakau (S. serrata) Stadia Zoea-Megalopa dengan Pemberian Glukosa yang Berbeda
Konsentrasi Glukosa (ppm) Prevalensi Zoothamnium sp (%)
0 2.67 ± 0.58b
25 1.00 ± 0.00ab
50 0.67 ± 0.58a
75 1.33 ± 0.58ab
100 2.33 ± 0.58ab





Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada taraf 5% (P<0,05)

Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa prevalensi parasit Zoothamnium sp pada larva kepiting bakau (S. serrata) terendah dihasilkan pada perlakuan glukosa 50 ppm yaitu 0,67%, sedangkan yang tertinggi dihasilkan pada kontrol yaitu 2,67%.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian glukosa pada media pemeliharaan berpengaruh sangat nyata (p<0,05) pada prevalensi parasit Zoothamnium sp larva kepiting bakau (S. serrata) (Lampiran 2). Selanjutnya hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 3) memperlihatkan bahwa konsentrasi glukosa 50 ppm berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol, akan tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan lainnya.

Tingginya prevalensi parasit Zoothamnium sp pada kontrol disebabkan tidak adanya pemberian glukosa pada media pemeliharaan larva kepiting bakau (S. serrata), sehingga larva tidak memperoleh sumber energi dari glukosa tersebut. Glukosa dalam bentuk glikogen akan menyimpannya sebagai lemak dan sumber energi bagi larva sehingga larva tersebut dapat mempertahankan sintasannya. Hubungan antara dosis glukosa dengan sintasan larva kepiting bakau (S. serrata) dilihat pada Lampiran 4.
Rendahnya prevalensi parasit Zoothamnium sp pada perlakuan glukosa 50 ppm disebabkan adanya peranan glukosa dalam wadah pemeliharaan larva kepiting bakau, dimana konsentrasi glukosa tersebut sudah mencukupi kebutuhan larva kepiting bakau dan tidak melebihi batas optimal. Konsentrasi glukosa 100 ppm sudah melebihi batas optimal bagi tubuh larva kepiting bakau sehingga memberi dampak negatif bahkan bisa berakibat fatal bagi larva (kematian). Menurut Afrianto dan Liviawati (2005), kelebihan glukosa dapat menyebabkan kematian karena akan terjadi penumpukan glukosa pada hati, otot dan jaringan lemak sehingga terjadi penyumbatan pada pembuluh darah dan sistem kerja organ akan terganggu, disamping itu larva juga membutuhkan nutrient lain selain glukosa seperti asam amino dan asam lemak dalam fungsi fisiologisnya. Kadar ideal bagi kandungan glukosa didalam darah ialah lebih kurang 100 mg glukosa bagi setiap 100mL darah (Anonim, 2007).
Zoothamnium sp ini merupakan protozoa yang hidup bebas dari inang satu ke inang yang lain (substrat ke substrat) dengan memperoleh makanan dari inangnya, oleh Sinderman dan Lightner (1988) disebut sebagai parasit ektokomensal yaitu parasit yang hidup pada tubuh organisme lain dari jenis yang berbeda dan mendapat makanan dari inangnya tanpa ada konpensasi apapun.

b. Prevalensi Vorticella sp
Prevalensi parasit Vorticella sp pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun hasil rata-rata prevalensi parasit larva kepiting bakau dapat dilihat pada Lampiran 5
Tabel 2. Prevalensi Parasit Vorticella sp pada Larva Kepiting Bakau (S. serrata) Stadia Zoea-Megalopa dengan Pemberian Glukosa yang Berbeda

Konsentrasi Glukosa (ppm) Prevalensi Vorticella sp (%)
0 2.67 ± 0.58
25 1.67 ± 0.58
50 1.00 ± 1.00
75 1.33 ± 1.15
100 2.33 ± 0.58







Keterangan : Tidak berpengaruh nyata (p>0,05) antar perlakuan


Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pemberian glukosa pada media pemeliharaan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) pada prevalensi parasit Vorticella sp pada larva kepiting bakau (S.serrata) stadia zoea sampai megalopa (Lampiran 6).
Vorticella sp juga merupakan jenis parasit ektokomensal, dimana hidup pada inang dengan memperoleh makanan pada inang tersebut tanpa ada konpensasi apapun. Fase pertumbuhan Vorticella sp ini dimulai dengan schizogania yakni secara membelah dan terjadi setelah menginfeksi inang, selanjutnya sporogoni yakni pembentukan spora di luar inang dan merupakan stadium efektif (Arbur, 2002)



Intensitas
Intensitas parasit pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda adalah sebagai berikut :
a. Intensitas Zoothamnium sp
Intensitas parasit Zoothamnium sp pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Intensitas parasit Zoothamnium sp pada Larva Kepiting Bakau (S. serrata) Stadia Zoea-Megalopa dengan Pemberian Glukosa yang Berbeda
Konsentrasi Glukosa (ppm) Intensitas Zoothamnium sp (sel/ekor)
0 1.00 ± 0.00
25 1.00 ± 0.00
50 1.00 ± 1.00
75 1.00± 0.00
100 1.00± 0.00










Keterangan : Tidak berpengaruh nyata (p>0,05) antar perlakuan

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pemberian glukosa pada media pemeliharaan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) pada intensitas parasit Vorticella sp untuk larva kepiting bakau (S.serrata) stadia zoea sampai megalopa (Lampiran 7)
b. Intensitas Vorticella sp
Intensitas parasit Vorticella sp pada larva kepiting bakau (S. serrata) yang dipelihara mulai dari stadia zoea sampai megalopa dengan pemberian glukosa berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.



Tabel 4. Intensitas parasit Vorticella sp pada Larva Kepiting Bakau (S. serrata) Stadia Zoea-Megalopa dengan Pemberian Glukosa yang Berbeda
Konsentrasi Glukosa (ppm) Intensitas Vorticella sp (sel/ekor)
0 1.33 ± 0.34
25 1.33 ± 0.58
50 0.67 ± 0.58
75 0.67 ± 0.58
100 1.17 ± 0.29





Keterangan : Tidak berpengaruh nyata (p>0,05) antar perlakuan

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pemberian glukosa pada media pemeliharaan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) pada intensitas parasit Vorticella sp untuk larva kepiting bakau (S.serrata) stadia zoea sampai megalopa (Lampiran 8)
Intensitas serangan parasit untuk masing-masing parasit tidak terlalu memperlihatkan tanda-tanda kritis, dimana tingkat penularannya masih dalam tahap yang kecil. Hal ini didukung oleh pernyataan Fernando dkk, (1972 dalam Hasanah, 1989) bahwa intensitas ektoparasit 2 sampai 5 sel/ekor belum begitu berbahaya, sedangkan intensitas 7 sampai 10 sel/ekor ke atas berbahaya bagi kehidupan organisme budidaya. Rata-rata intensitas serangan parasit dapat dilihat pada Lampiran 9.
Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa tingkat serangan parasit masih dalam tahap yang tidak terlalu berbahaya bagi larva sehingga larva masih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Glukosa dapat meminimalisasi adanya serangan pathogen dari luar, sehingga memungkinkan larva akan tetap survive terhadap serangan parasit maupun perubahan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Raa et al (1992) bahwa dalam pertahanan non spesifik, gula bereaksi dengan aglutinin sehingga mengaktifkan haemocyt untuk melakukan fagositosis terhadap parasit.
Haemocyt adalah sel-sel reaktif yang mempunyai tiga jenis sel yang berbeda yaitu hialin, semi granular dan granular. Perbedaan jenis sel inilah yang berperan dalam pembentukan kekebalan diinding sel semi granular dan sel granular (Nangga dkk, 1999). Sel hialin memiliki fungsi untuk memfagositosis bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh larva kepiting bakau. Bentuk dari sel hialin yaitu : elips, dan tidak bergranula. Sel semi granular memiliki ciri-ciri : lebih besar dari hialin, bentuk oval memanjang dengan jumlah yang jarang dan menyebar, memiliki nukleus bulat ditengah, sitoplasma berisi granular yang padat. Sel granular memiliki fungsi membentuk kekebalan tubuh terhadap penyakit, sama dengan fungsi sel hialin dan sel semigranular. Ketiga sel ini membentuk sistem kekebalan melalui mekanisme kerja tertentu dalam tubuh. Sel granular memiliki ciri-ciri : bentuk bulat, nukleus bulat di tengah, sitoplasma berisi granular yang padat. Kelimpahan hemosit berhubungan erat dengan tipe jenis kelamin, moulting, perkembangan fisiologis, status reproduksi, nutrisi dan sirkulasi. Penurunan jumlah hemosit secara ekstrim dapat pula terjadi bila organisme mengalami stres (Chang et al.,2003:Song et al.,2003).
Hasil PCR
Uji PCR (Polymerase Chain Reaction) digunakan untuk deteksi dini (Early Warning System) sebelum timbul gejala klinis pada ikan maupun crustacea terhadap beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus. PCR merupakan teknik amplikasi DNA sekuen tertentu melalui 3 tahap yaitu ekstraksi asam nukleat, amplikasi DNA dan elektrophoresis. Dengan metode ini dapat ditentukan apakah sampel yang diuji terinfeksi virus atau tidak.

Hasil PCR yang dilakukan pada larva kepiting bakau (S.serrata) dengan menggunakan parameter uji WSSV (White Spot Sindrome Virus) dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Hasil pengamatan PCR larva kepiting bakau (S. serrata) dengan menggunakan parameter uji WSSV

Berdasarkan gambar di atas, maka dapat dilihat bahwa pada perlakuan A dan E terinfeksi virus WSSV, akan tetapi tingkat serangannya masih ringan. Pada perlakuan B, C dan E tidak terdeteksi atau tidak terinfeksi virus (WSSV). Sampel dikatakan negative apabila hanya terlihat satu band yang sejajar dengan 848 bp. Sampel dikatakan positif apabila bandnya berada pada posisi 296 bp dan atau 550 bp.












Kualitas Air

Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran beberapa peubah kualitas air media pemeliharaan larva kepiting bakau yang meliputi salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut dan amoniak. Salinitas media pemeliharaan untuk semua perlakuan selama penelitian berkisar antara 30-32 ppt. Kisaran salinitas ini layak untuk kehidupan larva kepiting bakau. Menurut Mardjono dkk, (1994) dan Yunus dkk, (1996) bahwa salinitas optimum bagi kelangsungan hidup larva kepiting bakau adalah berkisar 30-35 ppt.
Suhu air untuk semua perlakuan selama penelitian berkisar antara 30-31oC. Kisaran ini masih layak untuk kehidupan larva kepiting bakau. Menurut Mardjono dkk, (1994) bahwa kisaran suhu yang optimum bagi kelangsungan hidup larva kepiting bakau yaitu 28-31oC.
Kisaran pH untuk semua perlakuan selama penelitian adalah 7,6-8,0. Kisaran pH ini layak untuk kehidupan larva kepiting bakau. Hal ini sesuai dengan pedapat Yunus dkk, (1996) bahwa pH yang layak bagi kelangsungan hidup larva kepiting bakau berkisar antara 7,63-8,80.
Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar antara 5,6-7,5 ppm. Nilai ini masih berada pada kisaran yang layak bagi kehidupan maupun pertumbuhan larva kepiting bakau yang dipelihara. Menurut Apud (1981 dalam Karim 1998) mengatakan bahwa kebutuhan minimal oksigen bagi larva crustacean adalah 3 ppm.
Kadar amoniak selama penelitian berkisar antara 0,0085-0,0204 ppm. Menurut Yunus dkk (1996) bahwa nilai ini masih layak bagi kehidupan larva kepiting bakau. Hasil pengamatan kualitas air dapat dilihat pada Lampiran 10.


V. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal, diantaranya :
1. Pemberian glukosa yang berbeda pada media pemeliharaan larva kepiting bakau (S. serrata) berbeda sangat nyata terhadap prevalensi Zoothamnium sp dengan nilai prevalensinya tertinggi pada kontrol (2,67%) dan terendah pada perlakuan glukosa 50 ppm (0,67%) akan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap prevalensi Vorticella sp. Pemberian glukosa tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas parasit baik Zothamnium sp maupun Vorticella sp.
2. Hasil PCR dengan menggunakan parameter uji WSSV, didapatkan bahwa pada larva dengan perlakuan A (kontrol) dan E (100 ppm) terinfeksi virus WSSV tapi tingkat serangannya ringan. Sedangkan untuk perlakuan B (25 ppm), C (50 ppm) dan D (75 ppm) tidak terinfeksi virus WSSV
3. Kualitas air masih dalam kisaran yang layak untuk kelangsungan hidup larva kepiting bakau

Saran
Dalam pemeliharaan larva kepiting bakau (S. serrata) sebaiknya menggunakan glukosa terlarut pada media pemeliharaannya dengan konsentrasi 50 ppm.

Kamis, 23 April 2009

Laporan PKL Gondol-Bali


I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kurang lebih 70% wilayah Indonesia terdiri atas laut, yang pantainya kaya akan berbagai jenis sumber hayati dan lingkungan yang potensial. Keadaan ini merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan pada sektor perikanan. Dewasa ini usaha-usaha pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup terus dilakukan. Usaha ini telah menunjukkan kemajuan yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia serta tercapainya tata lingkungan yang serasi dan seimbang (Sudrajat, 2008)

Salah satu komoditas ekspor non-migas dibidang budidaya laut yang memiliki prospek cerah untuk dikembangkan adalah Pinctada maxima. Hal ini tidak saja ditunjang dengan teknologi yang mudah diterapkan dan jenis tiram yang mudah dibudidayakan, tetapi sumber daya alam yang mengitari ribuan gugus kepulauan di Indonesia sangat potensial sebagai lokasi budidaya. Hanya sampai saat ini industri tiram mutiara di Indonesia masih belum berkembang sebagaimanamestinya (Sutaman, 1993).

Tiram mutiara telah lama dikenal sebagai salah satu produsen mutiara alam yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Beberapa jenis tiram mutiara yang terdapat di perairan Indonesia, antara lain: P. maxima, P. margatifera, P. fucata dan Pteria penguin. Percobaan tentang budidaya mutiara di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1921 di Buton, Sulawesi Tenggara, waktu itu disebut ’’Celebes’’ (Sudrajat, 2008).

Permasalahannya sekarang adalah adanya kendala dalam pengembangan budidaya tiram mutiara di Indonesia, yakni langkanya tenaga ahli kita yang berkecimpung dalam bidang mutiara ini. Hal ini terbukti dari banyaknya perusahaan mutiara yang sebagian besar adalah patungan dengan perusahaan Jepang. Padahal budidaya tiram mutiara ini mempunyai prospek yang sangat cerah dan dapat diandalkan sebagai sumber devisa negara dimasa yang akan datang sekaligus dapat menunjang program pemerintah dalam pemerataan kesempatan kerja dan penciptaan lapangan kerja baru bagi angkatan kerja di Indonesia. Oleh karena itu, kiranya tepat dan sangat bijaksana apabila tiram mutiara ini terus dipacu dan digalakkan pengembangannya (Sutaman ,1993).

Kegiatan pembenihan merupakan salah satu kunci keberhasilan budidaya. Didirikannya balai benih dibeberapa daerah diharapkan dapat meningkatkan produksi benih, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini harus didukung oleh sumber daya alam dan sumber daya manusia yang potensial (Ridho, 2001).

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah berhasil dalam memproduksi benih secara berkesinambungan dan mengembangkan teknologi tiram mutiara (P. maxima). Sebagaimana diketahui bahwa tiram mutiara merupakan komoditas yang masih baru dan belum banyak dibudidayakan, sehingga mendorong penulis melakukan Praktik Kerja Lapang mengenai Teknik Pembenihan Tiram Mutiara (P. maxima) di BBRPBL Gondol Bali.

Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan dilakukannya Praktik Kerja Lapangan (PKL) ini adalah untuk menambah pengetahuan dan keterampilan sehubungan dengan Teknik Pembenihan Tiram Mutiara (P. maxima).

Kegunaan dilakukannya Praktik Kerja Lapang ini adalah diharapkan adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta menambah wawasan masalah-masalah yang dihadapi di lapangan sehubungan dengan Teknik Pembenihan Tiram Mutiara (P. maxima).

II. METODOLOGI PRAKTIK

Waktu dan Tempat

Praktik Kerja Lapang ini dilaksanakan dari hari Selasa, tanggal 30 Desember 2008 sampai Rabu, 18 Februari 2009 di BBRPBL Gondol, Dusun Gondol, Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, Indonesia.

Metode Praktik

Metode yang dilaksanakan dalam Praktik Kerja Lapang ini dengan melakukan pengambilan data yang meliputi data primer dan data sekunder. Data primer ini secara langsung diperoleh dari pencatatan hasil observasi, partisipasi aktif dan wawancara.

Observasi atau pengamatan secara langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan indra mata tanpa ada alat pertolongan standar lain untuk keperluan tersebut. Dalam PKL ini observasi dilakukan terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan kegiatan manajemen budidaya tiram mutiara (P. maxima) yang meliputi : pemeliharaan induk, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan larva dan kultur pakan alami.

Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya dengan si penjawab. Wawancara disini dilakukan dengan cara tanya jawab dengan pembimbing, teknisi dan staf balai mengenai permasalahan dalam budidaya tiram mutiara (P. maxima) khususnya dalam hal manajemen budidaya Tiram Mutiara (P. maxima).

Partisipasi aktif dilakukan dengan cara mengikuti secara langsung beberapa kegiatan dalam budidaya tiram mutiara (P. maxima). Misalnya persiapan benih, persiapan proses pemijahan, pemijahan, pemberian pakan dan lain-lain.

Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan dan dilaporkan orang dari luar penyelidik sendiri yang merupakan data asli. Data sekunder diperoleh dari laporan-laporan terdahulu, studi literatur dan pustaka yang menunjang untuk mencari keterangan ilmiah teoritis dari literatur. Keseluruhan kegiatan PKL ini dapat dilihat pada jadwal kegiatan praktik kerja lapang (Lampiran 3).

.

III. KEADAAN UMUM LOKASI PRAKTIK

Sejarah Lokasi

Berdirinya Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol adalah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.861/Kpts/12/1980 tanggal 2 Desember 1980, Balai Penelitian Perikanan Darat dibagi tujuh unit struktural, yaitu: Sub Bagian Tata Usaha, Sub Balai Penelitian Depok, Sub Balai Penelitian Jatiluhur, Sub Balai Penelitian Jepara, Sub Balai Penelitian Palembang, Sub Balai Penelitian Maros dan Sub Balai Penelitian Samarinda.

Dalam perkembangannya, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.613/Kpts/OT.210/1984 pada tanggal 16 Agustus 1984, Balai Penelitian Perikanan Darat dibagi menjadi Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (Balitkanwar) dan Balai Penelitian Budidaya Pantai (Balitdita). Dengan surat keputusan ini pula, Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai (Sub Balitdita) Gondol berdiri dan menjadi bagian dari Balitdita yang berpusat di Maros, Sulawesi Selatan. Tugas Sub Balitdita adalah melaksanakan penelitian teknologi pembenihan, nutrisi dan makanan alami, ikan karnivora, reptilia dan penelitian mengenai lingkungan. Pada tahun 1992, Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai Gondol berubah nama menjadi Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai (Sub Balitkandita) Gondol, tetapi tanpa perubahan struktur organisasi.

Sub Balitkandita Gondol selanjutnya berubah nama menjadi Loka Penelitian Perikanan Pantai (Lolitkanta) Gondol. Perubahan nama ini berdasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No.797/Kpts/OS.210/12/1994 yang dikeluarkan pada tanggal 1 April 1995 dan bertugas sebagai pelaksana teknis Badan Penelitian Pengembangan Perikanan yang kedudukannya berada langsung di bawah Pusat Penelitian Pengembangan Perikanan Jakarta.

Nama Balai Riset Perikanan Budidaya Laut mulai digunakan mulai tahun 2001 sampai sekarang. Dengan terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan, maka sejak tanggal 1 Mei 2001 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan SK No.30. KEP.26A/MEN/2001, Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol naik status dan berubah nama menjadi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol serta bertugas sebagai Unit Pelaksana Teknis Departemen Kelautan dan Perikanan di bidang Riset Budidaya Laut yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Riset Kelautan dan Perikanan.

Balai Penelitian ini memiliki mandat untuk melakukan penelitian dan pengembangan perikanan di Indonesia terutama pembenihan dan pembesaran berbagai komoditas laut. Adapun spesies yang diteliti antara lain: Bandeng (Chanos chanos), Udang vannamei (Litopenaeus vannamei), Kepiting (Scylla paramamosain), Rajungan (Portunus pelagicus), Kakap merah (Lutjanus argentimaculatus), Kerang Abalon (Holiotis squamata), Tiram mutiara (P. maxima), Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), Kerapu lumpur (Epinephelus coioides), Kerapu sunu (Plectropormus leopardus), Kerapu batik (Epinephelus microdon), Kerapu tikus (Cromileptes altivelis), Napoleon (Cheillinus undulatus), Clownfish (Amphiprion ocellaris), Yellowfin tuna (Thunnus albacares), Letter Six (Paracanthurus hepatus), Kuwe (Gnathanodon speciosus), Cobia (Rachycentron canadum) dan yang terbaru adalah penelitian tentang Kerapu pasir (Epinephelus corallicola) dan Umibudo atau Anggur Laut (Caulerpa lentillifera).

Dalam melaksanakan kegiatannya, BBRPBL Gondol telah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan pemerintah maupun dengan pihak swasta dari dalam dan luar negeri. Diantaranya dengan pemerintah Jepang pada tahun 1998 - 2000 melalui Japan International Corporation Agency (JICA). Kerjasama yang dilakukan adalah program untuk teknik pembenihan beberapa jenis ikan laut dan crustacea yang disebut program penelitian dan pengembangan Multi Species Hatchery (MSH).

Pada tahun 2001, kerjasama dengan JICA kembali diperpanjang melalui program pengembangan dan peningkatan teknologi budidaya komoditas laut sampai tahun 2003. Melalui program ini telah dikembangkan teknologi pembenihan Kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dengan SR 20,3%-54,5%, baru pertama kali di dunia dan dikembangkan di hatchery skala rumah tangga.

BBRPBL Gondol juga melakukan kerjasama dengan pemerintah Australia melalui ACIAR pada tahun 1999-2003 dengan program peningkatan nutrisi, formulasi pakan dan genetika pada kerapu. Kerjasama BBRPBL Gondol dengan ACIAR kembali dilanjutkan pada tahun 2004. Kali ini ACIAR melakukan kerjasama dengan tiga program sekaligus, tetapi dengan jangka waktu yang berbeda. Program-program tersebut diantaranya adalah pengembangan hubungan dan peningkatan aspek sosial ekonomi serta karakteristik perikanan dengan pemerintah Australia pada tahun 2004-2005; penelitian tentang formulasi pakan yang hemat biaya untuk budidaya kepiting di Australia, Indonesia dan Vietnam pada tahun 2004-2006; serta peningkatan teknologi pembenihan dan pembesaran komoditas laut di kawasan Asia–Pasifik pada tahun 2004 dan berakhir hingga tahun 2007.

Selain itu, pada tahun 2001-2003 BBRPBL Gondol juga melakukan kerjasama dengan pemerintah Denmark melalui Danish Institute for Fisheries Technology and Aquaculture (DIFTA) dengan program Multi Species Production (MSP). Pada tahun 2002-2005, dilakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam negeri yaitu PT. Suri Tani Pemuka (STP) dalam bidang pakan ikan untuk pembesaran komoditas air laut.

BBRPBL Gondol kembali melakukan kerjasama dengan pemerintah Jepang pada tahun 2002-2006 melalui OFCF (Overseas Fisheries Corporation Foundation) dengan program penelitian tentang pengembangan ikan Yellowfin Tuna. Selanjutnya, pada tahun 2002–2007 dilakukan kerjasama dengan pemerintah USA melalui Philip Sea Foods yaitu pengembangan dan penelitian komoditas kepiting.

Kerjasama-kerjasama lainnya yang saat ini sedang berlangsung diantaranya adalah dengan CV. Dinar, yaitu program domestikasi dan pembenihan ikan hias laut yang dimulai sejak tahun 2004 dan berakhir tahun 2007. Kerjasama dengan JICA melalui program pengembangan teknologi marikultur berkelanjutan yang dimulai tahun 2005 dan berakhir tahun 2008. Kerjasama dengan pemerintah Jepang, yaitu Kyowa Concrete Industry melalui program budidaya Abalon dan Umibudo (Anggur Laut) sejak tahun 2006 hingga tahun 2009 serta kerjasama dengan PT. Sino Future Indonesia mengenai aplikasi probiotik pada budidaya udang vanamei yang dimulai tahun 2006 dan berakhir tahun 2009.

Sistem Organisasi dan Ketenagakerjaan

Sebagai unit pelaksanaan teknis, BBRPBL-Gondol dipimpin oleh seorang Kepala Balai yang membawahi 3 Bagian, yaitu Urusan Tata Usaha, Sub Seksi Pelayanan Teknis dan beberapa kelompok peneliti dan jabatan fungsional lainnya. Tata kerja di BBRPBL-Gondol diatur dalam keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. Kep. 26/A/Men/2001. Berdasarkan SK Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan No.73 tahun 2000, Balai Penelitian memiliki misi dan tugas khusus dalam melakukan penelitian dan pengembangan tekhnologi pembenihan ikan air laut.


Struktur organisasi BBRPBL Gondol dapat dilihat pada Gambar 1 :

Gambar 1. Struktur Organisasi BBRPBL Gondol-Bali

Pegawai yang ada dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan statusnya yaitu pegawai negeri dan pegawai honorer. Pegawai negeri berjumlah 125 orang dengan tingkatan pendidikan yang berbeda, sedangkan pegawai honorer sebanyak 28 orang. Pegawai honorer merupakan pegawai yang dikontrak oleh JICA dan Danish Institut Fisheries Technologi Aquacult ure (DIFTA).

Tabel 1. Komposisi jumlah pegawai negeri berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan

Jumlah (Orang)

S3

4

S2

10

S1

30

Diploma 2

2

Diploma 3

2

Diploma 4

4

SLTA/Sederajat

57

SLTP

7

SD

6

Sumber: Tata Usaha BBRPBL Gondol-Bali, 2008

Tabel 2. Komposisi jumlah pegawai berdasarkan jabatan fungsional

Jabatan Fungsional

Jumlah (Orang)

Fungsional Peneliti

31

Non Kelas Peneliti

12

Fungsional Teknisi Litkayasa

20

Non Kelas Teknisi Litkayasa

25

Administrasi

37

Tenaga Honorer

28

Jumlah Total Pegawai

153

Sumber: Tata Usaha BBRPBL Gondol-Bali, 2008

Sarana dan Prasarana

A. Sarana

Sarana merupakan peralatan yang harus tersedia saat berlangsungnya suatu kegiatan (proses produksi). Sarana-sarana yang tersedia antara lain :

a. Sistem Penyediaan Listrik



DSC00196

Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol-Bali menggunakan sumber listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang berkekuatan 197 KW. Untuk operasionalnya, BBRPBL Gondol juga dibantu dengan 2 generator pembangkit listrik berkekuatan 100 KW . Tenaga listrik dipakai terutama untuk penerangan yaitu pada jalan, kantor, hatchery, laboratorium, asrama, mushola dan untuk sarana umum lainnya.

Gambar 2. Generator Pembangkit Listrik di BBRPBL Gondol

b. Sistem Penyediaan Air Laut

Air merupakan kebutuhan pokok dalam kegiatan pembesaran, diantaranya adalah air laut. Teknik pengambilan air laut yaitu dengan cara memompa air laut yang diambil dari Laut Bali. Pompa yang digunakan adalah 3 buah pompa yang dipakai secara bergantian. Pompa tersebut masing-masing berkapasitas 24 KW. Pompa ditempatkan pada sebuah rumah pompa di tepi pantai dan pipa dipasang di lepas pantai, berjarak ± 50 meter dari batas



pompa%20air%20laut

minimum surut air laut terendah.

Gambar 3. Pompa Air Laut di BBRPBL Gondol

c. Sistem Penyediaan Air Tawar

Air tawar yang digunakan berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Buleleng dan berasal dari 3 sumur bor. Air tawar yang berasal dari PDAM tersebut ditampung dalam tangki yang berkapasitas 20 m3 dengan ketinggian 10 m.

IMG_1014

Gambar 4. Tangki Air Tawar di BBRPBL Gondol

Air kemudian dialirkan ke tempat-tempat tertentu dengan memanfaatkan gravitasi bumi dan dipompa menggunakan pompa air. Air dari PDAM digunakan hanya untuk kebutuhan hatchery saja, sedangkan air yang berasal dari sumur bor tersebut digunakan untuk kebutuhan kantor, taman, mushola, pencucian kendaraan-kendaraan kantor dan asrama.

d. Sistem Aerasi

Sistem aerasi berasal dari mesin blower 2 KVA sebanyak 2 buah dengan kapasitas 2,21 m3/menit dan digunakan secara bergantian selama 12 jam yang menghasilkan udara atau oksigen yang kemudian disalurkan atau didistribusikan melalui pipa PVC berdiameter 1 inci ke setiap selang aerasi yang terdapat pada setiap bak induk dan larva.



DSC00193

Gambar. 5. Mesin Blower di BBRPBL Gondol

B. Prasarana

Prasarana merupakan fasilitas yang menunjang dan melengkapi sarana. Prasarana yang tersedia di BBRPBL Gondol antara lain :

Tabel 3. Prasarana Produksi BBRPBL Gondol

Prasarana

Jumlah (Unit)

Bangunan :


1. Administrasi

1

2. Lab. Penyakit lingkungan dan Gizi

1

3. Lab. Kimia dan Analisa

1

4. Lab. Produksi dan Makanan Campuran

1

5. Lab. Biologi

1

6. Lab. Bioteknologi

1

7. Tempat Kultur Pakan Alami

4

Sumber Energi Tenaga Listrik :


1. Generator 100 Kw

3

2. Generator 200 Kw

1

3. PLN 197 Kw

3

Komunikasi :


1. Faksimil

1

2. Telepon

3

Transportasi :


1. Kendaraan roda empat

11

2. Kendaraan roda dua

4

3. Kendaraan roda enam

1

4. Speed Boat

2

Sumber: BBRPBL Gondol-Bali, 2008

IV. EVALUASI PRAKTIK KERJA LAPANG

Penyediaan Induk

Di BBRPBL Gondol ini, tiram mutiara yang akan digunakan sebagai induk berasal dari hasil budidaya atau pembenihan. Hal ini sesuai dengan pendapat Winanto (2004) bahwa tiram mutiara yang akan digunakan sebagai induk dapat berasal dari alam maupun dari hasil usaha budidaya atau pembenihan. Akan tetapi induk yang diambil dari alam harus diaklimatisasi dulu karena habitat asal tiram mutiara adalah di dasar laut yang mencapai kedalaman antara 20-60 m. Induk yang berasal dari dasar laut dipindahkan ke tempat budidaya yang lebih dangkal sehingga perlu penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan hidup yang baru. Sementara induk yang berasal dari hatchery umumnya langsung dapat dipijahkan karena sudah terbiasa dengan lingkungan budidaya.

Pemeliharaan Induk

Pemeliharaan induk tiram mutiara (P. maxima) di BBRPBL Gondol ini yakni dilakukan di Karamba Jaring Apung (KJA) di Teluk Pegametan dengan cara penempatan induk-induk ke dalam keranjang kawat. Hal ini sesuai dengan pendapat Winanto (2004) bahwa pemeliharaan induk di laut dilakukan dengan penempatan induk-induk di dalam keranjang kawat. Keranjang diikat dengan tali polietilen, lalu digantungkan pada rakit apung dengan kedalaman 6-8 meter. Secara periodic setiap 3-4 bulan, induk dibersihkan dari organisme penempel dengan menggunakan pisau atau skrap, lalu disikat. Setelah bersih, tiram dimasukkan kembali ke dalam keranjang pemeliharaan lalu dikembalikan ke lokasi budidaya di laut. Akan tetapi proses pembersihan induk tiram mutiara di BBRPBL ini dilakukan setiap sebulan sekali.




Gambar 6. Keranjang Pemeliharaan Untuk Tiram Mutiara

Seleksi Induk

Seleksi induk di BBRPBL ini dilakukan di Karamba Jaring Apung (KJA) dengan cara diletakkan dengan posisi berdiri atau dorsal pada bagian bawah. Kemudian induk akan membuka cangkang karena kekurangan oksigen. Setelah cangkang terbuka sebagian, segera digunakan alat pembuka cangkang (shell opener) agar cangkang terbuka. Untuk melihat posisi gonad digunakan alat spatula. Gonad biasanya tertutup oleh sepasang insang. Dengan spatula, insang disibakkan sehingga posisi gonad terlihat jelas dan secara visual tingkat kematangannya akan terlihat.

A

Menurut Winanto (2004) bahwa secara morfologi, tiram mutiara dewasa dan telah mencapai matang gonad penuh (fase IV) dapat diketahui. Gonad terlihat menggembung dan seluruh permukaan organ bagian dalam tertutup oleh sel gonad, kecuali bagian kaki. Syarat untuk dijadikan induk berukuran antara 17-20 cm (DVM), cangkang berwarna terang dan tidak rusak atau cacat, baik akibat serangan organisme pengebor (boring organisme) maupun karena penanganan yang kasar. Persyaratan yang paling penting adalah tingkat kematangan gonad. Induk yang baik kondisi gonadnya matang penuh (fase IV).






D:\DiLa\PKL\PIC\Dila praktek\Gonad Tiram Betina\DSC01503.JPG
D:\DiLa\PKL\PIC\Dila praktek\Jantan\DSC00465.JPG




Gambar 7. Perbedaan Gonad Jantan dan Gonad Betina

(A). Gonad Betina Tiram Mutiara

(B). Gonad Jantan Tiram Mutiara

Teknik Pemijahan

Teknik pemijahan yang dilakukan di BBRPBL Gondol ini yakni dengan teknik pemijahan buatan. Rekayasa pemijahan perlu dilakukan jika secara alamiah tiram tidak mau memijah di dalam bak pemijahan. Namun, induk yang akan dipijahkan harus memenuhi persyaratan teknis. Induk tiram mutiara dapat dipijahkan dengan metode manipulasi lingkungan dan rangsangan kimia.

Metode yang biasa digunakan yakni dengan metode kejut suhu (thermal sock). Kejut suhu merupakan metode yang umum digunakan, dalam teknik ini suhu air tempat pemijahan dinaikkan secara bertahap dengan bantuan heater (jika heater tidak ada, bisa menggunakan kejut suhu dengan kejutan air yang panas) mulai dari suhu awal 28oC menjadi 35 oC . Induk-induk biasanya akan memijah setelah 60-90 menit dari perlakuan, mula-mula terlihat induk bereaksi cepat membuka dan menutup cangkang. Menjelang pemijahan induk akan membuka cangkang lebar-lebar dan keluarlah sel-sel gonad yang terlihat seperti keluarnya asap berwarna putih. Selain itu manipulasi lingkungan yang sering dilakukan adalah dengan pergantian air secara terus menerus, hal ini dilakukan agar induk akan merasa stress dan langsung akan memijah.

Penggunaan bahan kimia juga sering dilakukan untuk memijahkan tiram mutiara, tetapi hasil pembuahan atau fertilisasi biasanya kurang baik. Seperti halnya pada manipulasi lingkungan, penggunaan bahan kimia juga bertujuan merubah lingkungan mikro tempat pemijahan. Secara ekstrim bahan kimia dapat dengan segera merubah pH air menjadi asam atau basa, yang bertujuan memberikan shock fisiologis pada induk sehingga terpaksa mengeluarkan sel-sel gonadnya. Jenis bahan-bahan kimia yang umum digunakan antara lain:

Ø Hidrogen Peroksida (H2O2),

Larutan hidrogen peroksida digunakan untuk merendam induk yang akan dipijahkan. Sebelum perlakuan dimulai, sebaiknya induk diaklimatisasi terlebih dahulu selama 10-12 jam. Konsentrasi H2O2 5-7% dilarutkan ke dalam air laut segar. Selanjutnya, induk dimasukkan ke dalam larutan tersebut selama 1-2 jam. Setelah perlakuan, media air diganti dengan cara di sifon atau induk diambil, lalu dipindahkan langsung ke bak pemijahan yang telah diisi air laut bersih. Pada konsentrasi larutan H2O2 3-6 µM (milimolar) dapat memicu induk memijah sekitar 18-20%. Pemijahan biasanya segera terjadi setelah induk dikembalikan ke dalam bak berisi air laut bersih (Winanto, 2004).

Ø Natrium Hidroksida (NaOH)

NaOH dalam bentuk butiran dilarutkan dalam air laut. Larutan NaOH digunakan untuk meningkatkan pH air dari pH 8 menjadi pH 9,0-9,5. Induk yang akan dipijahkan dimasukkan ke dalam larutan NaOH selama 2-3

Ø Amonium Hidroksida (NH4OH),

Ø Amoniak (NH4) dan Trace buffer.

Proses Pemijahan

Selama proses pemijahan, induk jantan biasanya memijah terlebih dahulu, kemudian sekitar 20-60 menit diikuti induk betina mengeluarkan sel-sel telur. Pembuahan terjadi di luar tubuh atau secara eksternal di dalam media air. Proses pembuahan terjadi segera setelah kedua induk memijah. Telur-telur yang belum dibuahi bentuknya agak lonjong menyerupai biji jeruk, sedangkan yang telah terbuahi berbentuk bulat dengan diameter antara 50-60 mikron. Seekor induk matang gonad penuh (TKG IV) bisa menghasilkan telur sekitar 17-20 juta atau kadang lebih. Telur telah terbuahi cenderung di dasar bak. Jika tidak diberi pengudara atau aerasi maka telur yang tidak dibuahi akan tenggelam ke dasar bak, lalu tercampur bersama serpihan jaringan, kotoran (feses) dan lendir



DSC00483

(Winanto, 2004).

Gambar 8. Sperma yang dikeluarkan Oleh Induk Jantan Tampak Seperti Asap Putih, Hal Serupa Juga dialami Oleh Induk Betina



DSC00503




Gambar 9. Proses Pembuahan Sperma Oleh Jantan dan Sel Telur Oleh Bentina

(a). Sel telur masih lonjong (belum dibuahi)

(b). Sperma bergerak menuju sel telur untuk segera dibuahi

Panen Telur

Panen telur dilakukan 1-2 jam setelah pemijahan. Setelah semua telur dibuahi sesegera mungkin dipanen, dikumpulkan dengan menggunakan saringan bertingkat (planktonnet) berukuran 100 µ atau 80 µ, 40 µ dan 20 µ. Selain berfungsi sebagai tempat penampungan telur-telur, saringan juga berfungsi untuk memisahkan antara kotoran dengan telur. Telur-telur yang telah terkumpul kemudian dibilas dengan air laut bersih dan dipindahkan ke dalam bak penetasan atau langsung ke dalam bak pemeliharaan larva. Padat penebaran awal antara 5-7 sel/ml. Biasanya bak penetasan dan pemeliharaan larva dijadikan satu, akan tetapi harus dilakukan sirkulasi air yang optimal.



DSC00509

Gambar 10. Proses Penyaringan Telur Setelah Pemijahan

Pemeliharaan Larva

A. Perkembangan Awal

Proses pembelahan sel terjadi setelah 40 menit dari pembuahan, atau setelah penonjolan polar I, polar II. Lima menit kemudian sel mulai membelah menjadi dua, 13 menit kemudian sel membelah menjadi empat, pembelahan berikutnya menjadi 8 sel, 16 sel dan sel terus menerus menjadi multi sel atau stadia morula setelah 2,5 jam. Pada setiap mikromernya berkembang silia kecil-kecil yang berfungsi membantu embrio bergerak. Stadia blastula dicapai setelah larva berumur 3,5 jam, gerakannya aktif berputar-putar. Pada stadia gastrula (7 jam) bentuknya seperti kacang hijau, bersifat photo-negatif dan bergerak-gerak dengan menggunakan silia. Beberapa menit setelah silia menghilang, maka berakhirlah fase grastula dan mengalami metamorphosis menjadi trochopore, ditandai dengan adanya flagella tunggal pada bagian anterior yang berfungsi untuk bergerak.






Penonjolan polar I
DSC00943

Proses perkembangan embrio tiram mutiara P. maxima dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini :

1. Penonjolan Polar I 2. Penonjolan Polar II






DSC00945
DSC00951

3. Pembelahan dua sel 4. Pembelahan empat sel






DSC00953
DSC00956

5. Fase Morula 6. Fase Trochofor

B. Perkembangan Larva

Ø Fase Veliger (D Shape Larvae)

Fase veliger atau larva bentuk D (D shape) dicapai setelah larva berumur 18-20 jam dan berukuran 70 µ x 80 µ. Larva fase veliger bersifat fotopositif sehingga tampak berenang-renang di sekitar permukaan air. Dengan melakukan sirkulasi air yang harus benar-benar diperhatikan.

Ø Fase Umbo

Setelah 12-14 hari, larva mengalami metamorphosis menjadi fase umbo (130 µ x 135 µ) yang ditandai dengan adanya tonjolan (umbo) pada bagian dorsal.

Ø Fase Eye Spot (Bintik Hitam)

Fase bintik hitam (eye spot) terjadi pada hari ke-16 dan ke-17 dengan ukuran 200 µ x 190 µ. Posis eye spot berada di sebelah bawah promordia kaki (Winanto, 2004).

Ø Fase Pediveliger

Larva mencapai fase pediveliger atau umbo akhir setelah berumur 18-20 hari dengan ukuran 210 µ x 200 µ. Larva ini mulai mencari tempat untuk menempel atau menetap.

Ø Fase Plantigrade

Fase transisi atau fase akhir kehidupan planktonis larva terjadi pada hari ke 20-22, Ukuran larva plantigrade sekitar 230 µ x 210 µ yang ditandai dengan tumbuhnya cangkang baru disepanjang periphery dan memproduksi benang-benang bisus untuk menempelkan diri pada substrat.

Larva yang sehat dicirikan oleh aktivitas gerak, distribusi dan warna di bagian perut. Larva yang sehat tampak bergerak aktif berputar-putar dengan menggunakan silia dan menyebar merata, terutama dibagian lapisan permukaan dan tengah air. Larva yang tidak sehat atau kondisinya kurang baik akan berada di lapisan air bagian bawah dan di dasar bak. Jika pakan yang dikonsumsi I. galbana dan P. lutheri secara mikroskopis dapat diamati maka tampak larva yang sehat akan banyak makan (kenyang) sehingga perutnya berwarna kuning tua, sedangkan larva yang cukup makan (sedang) bagian perutnya berwarna kuning dan tidak mau makan bagian perutnya berwarna kuning muda.

a




Warna larva dapat bervariasi, tergantung jenis pakan yang dikonsumsi. Namun, larva yang sehat biasanya berwarna cokelat keemasan, terutama di bagian saluran pencernaan (digestive diverticulum). Pada fase awal, warna larva dapat berubah nyata jika mengonsumsi pakan dengan warna yang berbeda. Namun, seiring dengan pertumbuhan larva dan cangkangnya pun semakin tebal maka pengaruh warna pakan tidak terlihat lagi.


Gambar 12. Kondsi Larva yang Sehat dan Tidak Sehat

(a). Kondisi larva yang sehat

(b). Kondisi larva yang tidak sehat

Selama pemeliharaan larva, sebaiknya media air yang digunakan disterilkan dahulu sehingga larva dapat terhindar dari infeksi jamur. Untuk menjaga kualitas air, perlu dilakukan penggantian air setiap 2-3 hari sekali sebanyak 50-100%.

C. Pemeliharaan Spat

Spat ditandai dengan terbentuknya garis lurus engsel serta berkembangnya bagian ujung bawah anterior dan posterior. Benang-benang bisus tumbuh dengan sempurna. Secara utuh bentuk spat seperti tiram mutiara dewasa, hanya garis-garis pertumbuhannya masih terlihat jelas.



DSC00983

Gambar 13. Spat Tiram Mutiara (P. maxima)

Waktu dan lamanya penempelan spat bervariasi, tergantung kondisi lingkungan setempat. Spat menghendaki substrat yang cocok untuk menempel. Secara umum, bahan kolektor yang baik tidak mengeluarkan senyawa kimia jika bereaksi dengan air laut, menarik minat spat untuk menempel dan tidak mengganggu pertumbuhan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan atau kesukaan menempel spat adalah kedalaman, bentuk/posisi kolektor dan permukaan substrat yang keras atau kasar.



DSC00183

Gambar 14. Kolektor Untuk Penempelan Spat Tiram Mutiara (P. maxima)

Konstruksi Bak Pemeliharaan








Di BBRPBL Gondol-Bali, bak pemeliharaan larva dan spat terbuat dari fiber dengan volume 4 ton dan ada juga volume 500 liter. Ukuran ini cukup ideal untuk pemeliharaan larva tiram mutiara. Bak pemeliharaan larva maupun spat tiram mutiara yang bervolume 4 ton ini berbentuk segi empat dengan ukuran 2cm x 2cm x 1cm dimana setiap sudut dibuat setengah lingkaran untuk menghindari berkumpulnya larva disekitar sudut dan untuk menghindari menumpuknya kotoran disekitar bagian tersebut. Sedangkan yang 500 liter terbuat dari fiber yang berbentuk lingkaran.

(a) (b)

Gambar 15. Bak Pemeliharaan Larva dan Spat

(a). Bak 500 liter dan (b). Bak 4 Ton

Manajemen Pemberian Pakan

Pemberian pakan pada larva dimulai pada hari pertama saat larva berubah menjadi stadia veliger yakni dengan memberikan pakan berupa Isocrhysis galbana, Pavlova sp atau Chaetoceros sp dengan kepadatan 4.500-5.000 sel/ml. Pada stadia umbo dosis pakan yang dinaikkan menjadi 5.500-6.000 sel/ml dan pada saat stadia spat maka dosisi pakan yang diberikan menjadi 9.500-10.000 sel/ml. Untuk lebih jelas dapat dilihatpada tabel berikut ini :

Tabel 4. Jenis pakan yang diberikan pada tiram mutiara (Pinctada maxima).

Jenis Pakan

Dosis Pakan (sel/ml)

Stadia Veliger

Stadia Umbo

Stadia Eye Spot

Stadia Pediveliger

Stadia Plantigrade

Stadia Spat

Chaetocheros sp







Isochrysis sp

4.500-5.000

5.500-6.000

6.500-7.000

7.500-8.000

8.500-9.000

9.500-10.000

Pavlova sp







Manajemen Kualitas Air

1. Suhu

Perubahan suhu memegang peranan penting dalam aktivitas biofisiologi tiram di dalam air. Suhu yang baik untuk kelangsungan hidup tiram mutiara adalah berkisar 25 – 30oC. Di BBRPBL Gondol suhu ruangan di dalam hatchery tempat pembenihan tiram mutiara yakni 26-27oC yang artinya suhu tersebut masih dikatakan layak untuk tiram mutiara.

2. Derajat Kemasaman (pH)

Derajat kemasaman (pH) di lokasi praktek yakni 8,21, dimana masih layak untuk pertumbuhan tiram mutiara. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) bahwa derajat keasaman air yang layak untuk kehidupan tiram P. maxima berkisar antara pH 7,8 - pH 8,6 agar tiram mutiara dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pada prinsipnya, habitat tiram mutiara di perairan adalah dengan pH lebih tinggi dari 6,75. Tiram tidak akan dapat berproduksi lagi apabila pH melebihi 9,00.



IMG_1004

Gambar 16. pH-meter

3. Amoniak

Batas toleransi tiram mutiara terhadap amoniak berkisar antara 0,4-3,1 mg/l. Pada kisaran yang lebih tinggi dari konsentrasi tersebut, dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan akhirnya kematian

4. Nitrat dan Nitrit

Kisaran nitrat yang layak untuk organisme yang dibudidayakan sekitar 0,2525 - 0,6645 mg/l dan nitrit sekitar 0,5 - 5 mg/l. Konsentrasi nitrit 0,25 mg/l dapat mengakibatkan stres dan bahkan kematian pada organisme yang dipelihara.

5. Salinitas



IMG_1002

Dilihat dari habitatnya tiram mutiara lebih menyukai hidup pada salinitas yang tinggi. Tiram mutiara toleran pada kisaran salinitas 24-50 ppt, namun hanya untuk jangka waktu yang pendek yaitu sekitar 2-3 hari. Di BBRPBL Gondol salinitasnya adalah 34 ppt, hal ini bisa dikatakan layak untuk kehidupan tiram mutiara mengingat kisaran salinitas yang optimal bagi tiram mutiara adalah 32-35 ppt.

Gambar 17. Refraktometer

6. Fosfat

Kandungan fosfat yang lebih tinggi dari batas toleransi akan mengakibatkan tiram mutiara mengalami hambatan pertumbuhan. Fosfat pada kisaran 0,1001 - 0,1615 mg/l merupakan batasan yang layak untuk normalitas hidup dan pertumbuhan organisme budidaya. Lokasi budidaya dengan fosfat berkisar antara 0,16 mg/l merupakan kandungan fosfat yang baik untuk budidaya mutiara.

Pengendalian Hama dan Penyakit

Hama umumnya menyerang bagian cangkang. Hama tersebut berupa jenis teritip, cacing dan polichaeta yang mampu mengebor cangkang tiram. Hama yang lain berupa hewan predator, seperti gurita dan ikan sidat. Upaya pencegahan dengan cara membersihkan hama-hama tersebut dengan manual pada periode waktu tertentu.




Penyakit tiram mutiara umumnya disebabkan parasit, bakteri, dan virus. Parasit yang sering ditemukan adalah Haplosporidium nelson. Bakteri yang sering menjadi masalah antara lain Pseudomonas enalia, Vibrio anguillarum dan Achromobacter sp. Sementara itu, jenis virus yang biasanya menginfeksi tiram mutiara adalah virus herpes. Salah satu upaya yang sering dilakukan agar benih tiram mutiara terhindar dari serangan penyakit yakni dengan melakukan control atau pembersihan biofouling yang menempel pada pocket net, ini dilakukan sebulan sekali.

Gambar 18. Pembersihan Biofouling (Organisme Penempel)




(a)




(b)

Gambar 19. (a) Biofouling yang Menempel Pada Induk Tiram Mutiara

(b) Tiram Mutiara yang Mati

V. PENUTUP

Rangkuman

Dalam proses pelaksanaan Praktik Kerja Lapang di BBRPBL Gondol, dapat disimpulkan bahwa untuk menghasilkan hasil spat atau benih yang baik maka perlu diperhatikan manajemen kualitas air yang baik serta pengelolaan pakan secara tepat dan efisien. Mengingat hal tersebut merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembenihan tiram mutiara (P. maxima).

Saran

Perlu dilakukan praktek kerja lapang lanjutan untuk mengetahui dan mempelajari teknologi baru yang dapat membantu peningkatan produksi pembenihan Tiram Mutiara (Pinctada maxima).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008. Aspek Produksi Budidaya Mutiara. www.google.com. Diakses 14 Januari 2009.

Ridho, R. 2001. Pengaruh Jumlah Inti Blister Terhadap Ketebalan Lapisan Mutiara Pada Tiram Mutiara Pteria penguin. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Sudradjat, A. 2008. Budidaya 23 Komoditas Laut Menguntungkan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sutaman, 1993. Tiram Mutiara. Kanisius. Yogyakarta.

Winanto, 2001. Pembenihan Tiram Mutiara. Departemen Kelautan dan Perikanan, Balai Budidaya Laut. Lampung.

______, 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. Penebar Swadaya. Jakarta.